Pasca bencana 28 September 2018
lalu, teridentifikasi bahwa sebagian besar jenis tanah yang ada di wilayah Kota
Palu adalah tanah sedimen, yang biasa
ditemukan di wilayah muara atau sepanjang jalur sungai. Tanah sedimen sendiri
merupakan tanah yang terbentuk dari hasil lapukan batuan, yang kemudian
diendapkan di lokasi lain oleh proses alam, misalnya oleh air, angin, dan
lain-lain.
Brainly.Net menjelaskan, biasanya
tanah sedimen bersifat homogen, yang terdiri atas lapisan yang berganti-ganti.
Tanah sedimen biasanya muncul dalam proses sedimentasi, yang merupakan proses
pengendapan material yang terbawa oleh air, angin, maupun gletser. Pengendapan
ini bisa terjadi di darat, laut, maupun sungai. Adapun material yang terbawa,
merupakan materil yang berasal dari pengikisan ataupun pelapukan.
Staf Operasional BMKG Gorontalo,
Asyer Ockthav, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.com, dengan judul berita Waspadai
Amplifikasi Gempa Bumi di Lembah Gorontalo menjelaskan, struktur tanah sedimen
tebal cenderung bersifat tidak kompak, padat, sehingga jika ada gelombang
seismik yang melewati sedimen, maka amplitude gelombang seismik akan semakin
besar atau disebut dengan amplifikasi.
Hal serupa juga ternyata terjadi
di Lembah Palu, pada saat gempa bumi bermagnitude 7,4, meluluhlantakkan lembah
tersebut. Ahli geologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Subagyo Pramuwijoyo
misalnya menjelaskan, terjadinya tsunami di Teluk Palu, dimungkinkan karena
adanya longsoran sedimen di bawah laut yang cukup besar, yang muncul akibat
pergeseran lempeng.
Selain fenomena tsunami yang
penyebabnya ditengarai adalah longsoran sedimen di bawah laut, Subagyo juga
menjelaskan penyebab likuefaksi, yang menurutnya banyak terjadi di daerah
berpasir. Saat terjadi gempa, tanah berpasir tercampur dengan air tanah di
bawahnya, di mana kemudian tanah melaurt dengan air tanah dan menerobos rekahan
tanah di permukaan.
Lanjut Subagyo, dari penelitian
yang dilakukan sejak 2005, dirinya menyebutkan, daerah sepanjang teluk Palu merupakan
wilayah yang memiliki tanah dengan kontur yang mudah terjadi likuefaksi.
Ketebalan sedimen kata dia mencapai 170 meter, sehingga menjadi daerah yang
sebenarnya tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal, karena berpotensi terjadi
likuefaksi, saat terjadi gempa.
Sedimentasi yang terjadi di
wilayah lembah Palu, ternyata berkaitan erat dengan ancaman erosi yang
menghantui wilayah lembah tersebut, pada periode 1950-an. Djawatan Penerangan
Republik Indonesia Kabupaten Donggala, lewat buku Tanah Kaili yang diterbitkan
tahun 1956 menjelaskan, di daerah sungai Palu, terdapat dua titik erosi dengan
tingkat kerusakan yang berbeda. Daerah pertama yaitu pegunungan bagian barat
dan timur lembah Palu dan daerah kedua yakni, daerah pegunungan di Kulawi.
Dalam buku tersebut, dijelaskan
keterangan singkat insinyur PC van de Weerd dalam laporannya pada bulan April
1947, menyebutkan kawasan hutan di pegunungan Gawalise yang terletak di sisi
barat lembah Palu, terdiri dari gunung-gunung tinggi dengan lereng yang
ditumbuhi rumput pendek dan kering. Daerah ini kata dia, menderita banyak
kerusakan karena hanyutan air. Menurutnya, hujan lebat di puncak-puncak gunung,
menyebabkan bahaya banjir besar. Banjir ini kata dia, membawa material tanah
dan batu dalam jumlah besar.
Banjir tersebut menurutnya,
mengakibatkan endapan di sekitar sungai. Dirinya mencontohkan sungai Sombe dan
Sungai Lewara di saat itu, yang memiliki endapan material akibat banjir, yang
luasannya mencapai beberapa meter. Di utara sungai Sombe menurut dia, sudah
dibuatkan bronjong sebagai penahan material yang mengalir bersama banjir.
Kondisi bentang alam, terutama di
pegunungan sebelah barat, di mana aliran sungainya melewati wilayah-wilayah
yang curam, sehingga nampak seperti air terjun. Kondisi bentang alam seperti
ini menurutnya rentan menimbulkan banjir disertai endapan material, jika hujan
deras terjadi di wilayah sekitar puncak.
Hal lain yang juga dituliskan
sebagai penyebab erosi adalah tumbuhan-tumbuhan yang ada di kawasan pegunungan,
tidak mampu mengikat tanah. Kawasan Kulawi menurutnya saat itu cenderung lebih
baik, karena masih lebatnya hutan di pegunungan-pegunungan, serta sistem
perladangan yang baik. Erosi sendiri menurutnya saat itu, adalah potensi bahaya
besar yang mengancam lembah Palu, di mana sungai-sungai bertambah lebar dan
ribuan hektar tanah pertanian musnah.
Cerita tentang banjir di Sungai
Palu yang seringkali membawa endapan material, juga pernah dituturkan oleh
Asman Yodjodolo, mantan tahanan politik 1965. Dirinya yang pernah
dipekerjapaksakan dalam proyek membendung sungai Palu yang disebut Komando Kali
Palu (KKP) pada medio 1967, mengingat dengan jelas, sebelum para tapol
dipekerjakan untuk membendung sungai Palu, jika sungai tersebut meluap dari
hulu, pasti akan merendam sejumlah wilayah, seperti Ujuna, Besusu, Kampung
Baru, serta Lere.
Sementara itu, pengamat kebencanaan
Sulteng, Drs Abdullah, MT, bersama Mujirin M Yamin dan Irwan Said, dalam
artikel DAS Sungai Palu, Menantang Komitmen dan Profesionalisme, yang terbit di
Harian Umum Mercusuar pada 29-30 Maret 2000 menjelaskan, aliran Sungai Palu yang deras,
akan aktif mengikis tebing-tebingnya, terutama pada bagian meander-luarnya.
Alirannya yang keruh, terutama pada saat/setelah hujan, cukup menggambarkan
kondisi DAS Palu yang mudah tererosi, sekaligus menunjukkan besarnya beban
sedimen yang terangkut di dalam aliran sungai tersebut. Beban sedimen ini,
sebagian mengendap ke dasar sungai Palu dan sebagian lagi dimuntahkan ke teluk
Palu.
Hasil
pengukuran lapangan (Nopember 1998),
di 10 titik pengamatan pada berbagai kelas kemampuan lahan yang dianggap
mewakili berbagai bagian kawasan DAS Palu, diperoleh prediksi erosi yang
terendah adalah 197 ton/ha/tahun,
pada kemampuan lahan kelas IV, dan yang
tertinggi sebesar 2.210 ton/ha/tahun pada lahan kelas VIII. Nilai-nilai ini
jauh melampaui nilai etol (erosi yang dapat ditoleransi) pada lokasi-lokasi
tersebut, yang nilainya hanya berkisar 19,6 - 51,2 ton/ha/tahun.
Dalam tulisan tersebut dipaparkan,
secara visual dapat diketahui, debit sedimen sungai Palu sangat besar, seperti yang telah
disebutkan di atas. Dari hasil pengukuran lapangan (Nopember 1998), diperoleh
nilai kuantitatif debit sedimen sungai Palu, yaitu 0,187 m3/det. atau 16.128
m3/hari atau 483.840 m3/bulan atau 5.806.080 m3/tahun. Implikasi dari besarnya
beban sedimen ini adalah, pertama, Pendangkalan
sungai Palu relatif cepat, terutama pada segmen Kodya Palu. Hal ini ditandai
dengan semakin banyaknya gosong-gosong pasir (pulau-pulau kecil) dalam aliran
sungai Palu, di mana delta
di muaranya luasnya sudah sekitar 1 Ha.
Gosong-gosong pasir dan delta tersebut,
akan membelokkan aliran air ke arah tebing sungai dan akan mengikis tebing
tersebut.
Gosong-gosong
pasir dan delta merupakan lahan tanah yang sangat subur. Di bagian hilir
jembatan III Palu, tampak 1 atau 2 gosong-gosong pasir telah dimanfaatkan
sebagai kebun oleh masyarakat setempat.
Pada
saat/setelah hujan, warna air laut di teluk Palu (sekitar muara) dengan cepat
berubah warnanya menjadi kecoklatan,
akibat muntahan material sedimen dari Sungai Palu. Kemudian sedimen ini juga
akan mengendap ke dasar teluk, khususnya pada jarak yang tidak terlalu jauh
dari muara, dan akan merubah morfologi pantai dan batimetri perairan teluk.
Dalam
hal ini bentuk dan posisi garis pantai akan berubah dengan cepat dan perairan
teluk Palu pada jarak ini akan semakin dangkal. Dampak berikutnya dari
pengendapan material sedimen ini adalah tunas-tunas karang, yang pertumbuhannya
hanya sekitar 1 cm/tahun, akan mati atau tidak akan tumbuh karena tertutupi
oleh material sedimen tersebut.
Penjelasan
di atas, menjawab pertanyaan, mengapa sebagian besar jenis tanah di lembah
Palu, khususnya di wilayah Kota Palu, terdiri dari tanah sedimen. Muatan
material sedimen yang dihasilkan oleh sungai-sungai yang melintasi wilayah
lembah Palu, mengendap di sekitar DAS masing-masing sungai, dan menjadi lahan
baru, yang selanjutnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai lahan pemukiman.
Sedimentasi DAS ini juga menyebabkan pendangkalan sungai, yang berimplikasi
pada berkurangnya debit air atau bahkan menyebabkan sebagian sungai kini
mengalami kekeringan dan lahan DAS ini sebagian kini beralih fungsi menjadi
kawasan pemukiman.
Abdullah menjelaskan, pendangkalan
Sungai Palu misalnya, menyebabkan daya tampung sungai berkurang, sehingga pada
saat curah hujan tinggi dapat terjadi banjir. Kemudian, mulut-mulut drainase
yang bermuara ke Sungai Palu juga terancam tersumbat, sehingga Kota Palu
terancam tergenang selalu meskipun tidak hujan.
Selain itu, gosong-gosong pasir
dan delta yang tidak jelas status kepemilikannya dan dapat menimbulkan konflik sosial.
Pendangkalan juga berimplikasi pada menurunnya tangkapan nelayan, karena pakan
terendapkan bersamaan dengan sedimen, serta matinya terumbu karang, karena
keruhnya perairan Teluk Palu di sekitar muara sungai dan ditutupi oleh sedimen
yang mengendap. Implikasi lainnya adalah menurunnya kualitas air sungai dan air
laut Teluk Palu.
Jika melihat lebih jauh tipologi
lahan di kawasan-kawasan yang terdampak likuefaksi, atau melihat peta tua
lembah Palu buatan etnolog Albert Christian Kruyt pada 1900-an, terlihat bahwa
sebagian besar lokasi lahan yang terdampak likuefaksi, seperti Perumnas
Balaroa, Petobo, Jono Oge, dan Sibalaya, dahulu merupakan kawasan DAS dari
sungai yang telah mengering. Arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam misalnya,
lewat peta tersebut mengidentifikasi, wilayah Perumnas Balaroa yang terdampak
likuefaksi, merupakan DAS Uwe Numpu, Petobo merupakan DAS Kapopo dan Jono Oge merupakan
DAS Paneki. Getaran gempa teramplifikasi tanah sedimen di lokasi-lokasi
tersebut, sehingga jika kondisi tanah memiliki banyak kandungan air, dapat
berpotensi tinggi terjadi likuefaksi.
Kondisi lahan di lembah Palu,
yang sebagaian besar terdiri dari tanah sedimen, juga memiliki potensi
menimbulkan rekahan-rekahan tanah hingga penurunan muka tanah (downlift) saat
terjadi gempa. Hal ini tampak nyata di Kota Palu, beberapa hari pasca gempa 28
September 2018, di mana banyak rekahan tanah yang tampak, terutama di wilayah
Palu bagian timur, bahkan di kawasan Besusu, rekahan-rekahan dan patahan tanah
mengeluarkan air bercampur lumpur. Downlift juga terjadi di muara Sungai Pondo,
di mana fenomena tersebut menyebabkan amblasnya Pusat Rekreasi Masyarakat
(Pusrekmas) yang tepat berada di muara, serta jembatan penghubung menuju
kawasan penggaraman.
Sejumlah warga sekitar muara
Sungai Pondo, di kawasan yang pasca bencana dikenal sebagai lokasi dermaga pelabuhan
tua Limbuo tersebut, pada peringatan 91 tahun bencana 1 Desember 1927 di lokasi
tersebut, Desember 2018 lalu, membenarkan proses sedimentasi di DAS Pondo,
terutama di kawasan muara. Salah seorang warga misalnya, menyebut proses
sedimentasi tersebut menyebabkan garis pantai di kawasan tersebut bertambah
setiap tahun, bahkan menutupi bekas tiang pancang dermaga pelabuhan tua Limbuo,
yang pasca bencana, kembali muncul ke permukaan, seiring penurunan muka tanah
di kawasan tersebut.
Di kawasan lainnya di lembah
Palu, seperti di wilayah Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, penurunan muka
tanah terjadi di ruas jalan, hingga mencapai 30-50 meter. Penurunan muka tanah
juga terjadi di kawasan muara sungai Palu dan kawasan pantai teluk Palu di
wilayah Besusu, Lere, dan Silae.
Proses sedimentasi di lembah Palu
ini, setidaknya menjawab pertanyaan, mengapa gempa bumi berkekuatan 7,4 SR yang
terjadi 28 September 2018 lalu, begitu merusak, terutama di wilayah lembah
Palu. Tipologi lahan di lembah Palu yang sebagian besar terdiri dari tanah
sedimen, mengamplifikasi getaran gempa, hingga menyebabkan turunan bencana
lainnya, seperti tsunami, likuefaksi, longsor, hingga downlift.
Abdullah, dalam pelatihan
mitigasi bencana di Desa Rogo misalnya, menganjurkan masyarakat untuk kembali
menggunakan konsep rumah panggung, sebagai hunian tahan gempa. Selain itu,
dirinya juga mengajak masyarakat, untuk menemukenali potensi kebencanaan dan
tata kelola penggunaan lahan di wilayah tersebut, dengan perspektif kearifan
lokal yang ada di wilayah tersebut. ***
0 Comments