Palu Dalam Amatan H.F. Tillema

 

FOTO: Pojok Hindia yang diisi oleh HF Tillema
di Arnhemsche courant edisi 3 Desember 1938. FOTO: DELPHER

Fotografer yang juga seorang apoteker berkebangsaan Belanda, Hendrik Freerk (HF) Tillema, dalam perjalanannya mengelilingi dan mengabadikan berbagai momen di seantero belahan Hindia Belanda, ternyata juga memperhatikan masalah curah hujan yang terjadi di sana. Dirinya membandingkan curah hujan yang ada di sejumlah wilayah, seperti Jawa, Kalimantan dan juga Palu di wilayah Sulawesi. Soal curah hujan ini dibahas oleh pemilik R. Klaasesz & Co, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang minuman kemasan, yang berbasis di Hindia Belanda ini, dalam sebuah pojok rubrik di surat kabar yang terbit di Belanda maupun Hindia Belanda, dengan nama rubrik Ons Indisch Hoekje (Pojok Hindia Kami). Salah satunya terbit di surat kabar Arnhemsche courant, sebuah surat kabar yang berbasis di Arnhem, Belanda, edisi 3 Desember 1938.

Dalam tulisannya pada edisi ini, Tillema memperhatikan, terjadi perbedaan curah hujan sangat besar di sejumlah daerah di Hindia Belanda. Kata dia, ada tempat dengan jumlah curah hujan tahunan sekitar 2 meter, tetapi juga ada yang mencapai 3 hingga 5 meter per tahun. Bahkan, ada sejumlah tempat yang mencapai lebih dari 8 meter per tahun, atau sekitar 14 kali lipat dari rata-rata curah hujan di Hindia Belanda.

Namun, dari semua hasil amatannya itu, satu yang paling mencengangkannya, yakni fenomena yang terjadi di Palu. Tillema menyebut, hanya ada sedikit hujan yang turun di Palu. Bahkan menurutnya, pada tahun 1914, curah hujan di sana hanya mencapai 0,2 meter per tahun.

Hal ini kata dia, adalah sebuah fenomena khusus yang hebat untuk kawasan Hindia Belanda. Wilayah Palu disebutnya sebagai wilayah yang kering, di mana matahari bersinar terang, sehingga wanita di jalan dan di pasar, menggunakan penutup kepala yang besar.

Pemandangan ini diabadikan oleh Tillema dalam sebuah potret yang kini dapat diakses di koleksi Tropen Museum, Amsterdam, Belanda. Foto dengan judul Pasar met achterliggende huizen te Paloe op Celebes (Pasar dengan rumah di belakangnya di Paloe di Celebes) ini, bertitimangsa 1924-1925. Foto ini memperlihatkan aktivitas di sebuah pasar di Palu yang disinyalir kini merupakan kawasan Pasar Tua (Bambaru) Palu. Dalam foto ini Nampak sejumlah wanita berjualan dengan mengenakan sebuah topi anyaman dengan diameter yang lebar. Dalam tulisannya di pojok Hindia itu, Tillema menjelaskan rinci isi foto tersebut. Tillema menyebut, para wanita dengan penutup kepala tersebut menjual garam, buah-buahan, rempah-rempah, dan barang dagangan lainnya.

Tillema dalam tulisan itu juga sedikit menggambarkan situasi di Palu, di mana kata dia, terdapat banyak rumpun kaktus besar di sepanjang jalan dan di ladang. Fenomena kaktus ini juga disampaikan oleh Kontrolir Palu periode 31 Mei 1924 hingga 9 Desember 1925, M.C. Voorn. Dalam memori Voorn tentang pekerjaan pembangunan rumah kontrolir yang dimulai pada 1 Juni 1924 disebutkan, lokasi pembangunan ini secara bertahap dibersihkan dari kaktus yang menutupi keseluruhan lokasi.

Selain itu, Kontrolir Palu periode 11 Oktober 1932 hingga 1935, J.A. Vorstman dalam memorinya, bahkan menulis laporan asisten konsultan pertanian di tahun 1933, tentang dominasi tumbuhan Kaktus di Palu. Hal ini disebutnya sebagai fenomena wabah Kaktus.

Adapun daerah di Palu yang ditumbuhi kaktus menurut laporan ini, yakni Tatura, jalur menuju Tawaeli, Talise, Tanamodindi, Kawatuna, Petobo dan Kapopo. Untuk membasmi wabah Kaktus ini, Vorstman melalui Dinas Kehutanan, berencana mengimpor ngengat dari Ceylon (Srilangka), yang dikenal sebagai kumbang pemakan Kaktus.

Geolog berkebangsaan Belanda, E.C. Abendanon, dalam buku hasil penelitiannya tentang geografi dan geologi di Sulawesi bagian Tengah, yang terbit tahun 1915 menyebut, lahan yang ditumbuhi kaktus itu, dulunya adalah padang sabana yang hijau. Pembukaan lahan untuk pertanian dan pemukiman, menjadikan lahan tersebut stres dan kering

Satu hal yang juga ditulis oleh Tillema selain fenomena curah hujan dan kaktus di Palu, yakni kehadiran pasanggrahan (guest house) di Palu, yang kata dia, sangat menarik minat para pejabat perjalanan di Hindia Belanda. Pasanggrahan di Palu kata dia, besar, luas, bersih, dan yang paling indah dari semua pasanggarahan yang ada di Hindia Belanda.

Pasanggarahan di wilayah Palu sendiri dibangun pada 1925 oleh Kontrolir M.C. Voorn, yang anggarannya juga dialokasikan untuk kantor Kontrolir baru, dan rumah keempat bagi staf. Anggaran ini juga memperhitungkan pemindahan dan konversi kantor Kontrolir lama menjadi rumah sakit, yang mampu menampung kurang lebih 50 pasien, karena rumah sakit lama terlalu kecil dan tidak lagi memenuhi persyaratan kebersihan. Selain itu terdapat juga Pasanggarahan di wilayah Wayu, Matantimali dan di wilayah Jalur Kebun Kopi di Tawaeli.

Sumber:

1.       https://tirto.id/tillema-perintis-air-minum-kemasan-pertama-dari-semarang-cuh6

2.       https://collectie.wereldculturen.nl/#/query/bb22e16b-5191-463e-859d-fd446a5eb91f

3.       https://www.journastoria.com/2021/11/gedung-juang-dan-kawasan-kolonial-di.html

4.       Arnhemsche courant, edisi 3 Desember 1938.

 

Post a Comment

0 Comments