Mengurai Kisah Orang Tionghoa di Donggala

FOTO: Sekolah Tionghoa di Tolitoli tahun 1966. FOTO: Dokumentasi Jamrin Abubakar


Keberadaan Pelabuhan Donggala sebagai salah satu jalur pelayaran di Selat Makassar menjadi pintu masuk bagi pendatang, salah satunya masyarakat Tionghoa. Pada tahun 1905, dilaporkan bahwa setiap bulan Pelabuhan Donggala dikunjungi oleh empat kapal uap Royal Packet Company dan beberapa dari Singapura, sedangkan jumlah pedagang Cina dan Arab meningkat setiap tahun. 

Jamrin Abubakar dalam Donggala Kota Pusaka menyebut, kedatangan orang Tionghoa di Donggala dilakukan secara bergelombang, umumnya sejak awal abad ke-19. Mereka datang dengan tujuan berdagang kemudian menetap. Jamrin menyatakan bahwa mereka datang langsung dari daratan Cina dan sebagian pindahan dari Kota Makassar, Surabaya, serta dari Pulau Kalimantan. Mereka memiliki latar belakang asal berbeda-beda, di antaranya Hokkien, Tiochiu, Kanton, Hakka dan lainnya.

Lanjut Jamrin, dalam perkembangannya, orang Tionghoa di Donggala membaur dengan berbagai suku melalui perdagangan. Mereka memiliki relasi sosial, budaya dan ekonomi hingga turun temurun, sehingga lekat dengan sebutan Cina Donggala, sebagai bentuk penerimaan masyarakat. Masyarakat Tionghoa di Donggala sejak periode kolonial memiliki posisi strategis di bidang perekonomian, ditandai dengan jabatan penting seperti Kapten Cina. Ada juga yang diberi wewenang usaha konsesi perkebunan kelapa dan perdagangan hasil bumi.         

Ada tiga klasifikasi cara masuk dan bereksistensi masyarakat Tionghoa di Donggala menurut Idrus Rore, yakni mereka yang datang langsung dari Tiongkok (Cina Totok), etnis Tionghoa yang berasal dari sekitar Kota Donggala (Kabupaten Donggala) dan Teluk Palu pada umumnya, serta etnis Tionghoa yang lahir dan dewasa di Kota Donggala.

Jumlah Cina Totok di Donggala menurut Idrus, saat ini sudah terbatas. Salah seorang di antaranya adalah Asmin (90) yang bermigrasi ke Kota Donggala pada usia muda. Dirinya berasal dari Guangzhou dan sekarang berdomisili di Surabaya. Sementara itu, etnis Tionghoa yang berasal dari daerah sekitar Kota Donggala dan Teluk Palu, kebanyakan berasal dari wilayah Pantai Barat Kabupaten Donggala, seperti Marana, Alindau, Tanjung Padang dan Tompe. Golongan ini memang awalnya juga berasal dari Tiongkok, akan tetapi tidak langsung ke Kota Donggala, melainkan bermukim di daerah Pantai Barat. Pantai Barat dijadikan sebagai daerah transit saja. Ketika anak-anak mereka sudah beranjak remaja dan ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang menengah, maka golongan ini masuk ke Kota Donggala, karena di kota tersebut telah berdiri sudah ada sekolah Cina, setingkat SMA.   

Sekolah Cina di Donggala diberi nama Chung Hwa School. Sekolah ini didirikan pada tahun 1924 oleh penduduk Tionghoa di Donggala, Sekolah ini didirikan di wilayah Boya, saat ini menjadi Kelurahan Boya, Kota Donggala. Sekolah ini memiliki dua orang guru dan pengajaran dilakukan dalam bahasa Cina dan Inggris. Jamrin menyebut, pendanaan sekolah ini didukung oleh para pedagang kaya di Donggala. Pada awalnya, sekolah ini dibuka dengan pendidikan tingkat dasar enam tahun. Setelah kemerdekaan, dibuka lanjutan SLTP pada bangunan dua tingkat di bagian belakang.   

Kehadiran sekolah ini, nampaknya juga dipengaruhi oleh jumlah orang Tionghoa di Donggala. Sensus tahun 1930 menyebutkan jumlah orang Tionghoa di Kota Donggala mencapai 338 orang, terdiri dari 207 laki-laki dan 131 perempuan. Jumlah ini sendiri mencakup 62 persen dari jumlah warga Tionghoa di lanskap Banawa yang mencapai 547 orang, mencakup 48 persen dari total jumlah warga Tionghoa di Onderafdeeling Donggala yang mencapai 698 orang dan mencakup 15 persen dari total jumlah warga Tionghoa di Afdeeling Donggala yang mencapai 2.172 orang.

Idrus Rore menyebut, setelah menamatkan pendidikan di Sekolah Cina, mayoritas di antara pelajar Tionghoa dan orang tuanya tidak kembali ke pantai barat, melainkan memilih menetap menjadi penduduk Kota Donggala, dengan menggeluti aktivitas perdagangan. Dinamika Kota Donggala sebagai kota dagang dan jasa, tampaknya memberikan spirit psikologis bagi masyarakat Tionghoa untuk menetap, demi menatap masa depan bagi anak keturunannya.

Kemudian, masyarakat Tionghoa yang lahir dan dibesarkan di Kota Donggala, adalah anak-anak dari orang Tionghoa totok dan orang Tionghoa yang berasal dari sekitar Kota Donggala, yang sudah menetap dan beranak pinak di Kota Donggala. Masyarakat Tionghoa Donggala menggunakan bahasa lokal, yakni bahasa Bugis, juga bahasa lainnya seperti Jawa dan Kaili. Kemampuan berbahasa tersebut merupakan pintu masuk bagi orang Tionghoa untuk berkomunikasi dengan masyarakat lainnya dalam pergaulan sehari-hari.       

Keberadaan orang Tionghoa di Donggala terlegitimasi lewat kehadiran pemimpin masyarakat Tionghoa setempat yang diberi gelar Letnan Cina. Dalam penelusuran arsip yang dilakukan penulis, terungkap bahwa keberadaan Letnan Cina di Donggala, dimulai sejak pengangkatan Soh Tong sebagai Letnan Cina di Donggala pada 15 Oktober 1925. Pada 28 Januari 1926, Soh Tong digantikan oleh Nio Koen Tjeng. Dirinya mengemban jabatan tersebut hingga 1928. Pada 26 Juni 1928, Nio Koen Tjeng digantikan oleh Nio Seng Tjeng yang memimpin hingga 1930. Selanjutnya pada 30 Januari 1930, Nio Seng Tjeng digantikan oleh Tjoa Tiong Hean. Tjoa Tiong Hean merupakan Letnan Cina yang paling lama memimpin di Donggala, yakni selama 12 tahun hingga 1942.  




Post a Comment

0 Comments