Tulisan ini merupakan
pengembangan dari dua tulisan sebelumnya, yang dibuat oleh penulis, menyoal banjir
rob yang merendam 8 desa di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, pada 11
Januari 2020 lalu. Delapan desa yang terendam rob, masing-masing; Ujumbou,
Tondo, Dampal, Tanjung Padang, Balentuma, Tompe, Lompio dan Lende.
Kedua tulisan tersebut masing-masing terbit dengan judul “Banjir Rob Merendam 8 Desa di Kecamatan Sirenja” yang terbit di Harian Umum Mercusuar, kabarsultengbangkit.id dan sultengbergerak.org pada 13 Januari 2020, serta “Normalisasi Sungai Bukan Solusi Tepat Banjir Rob di Sirenja” yang terbit di Harian Umum Mercusuar edisi 27 dan 28 Januari 2020, serta di kabarsultengbangkit.id pada 30 Januari 2020. Tulisan ini merupakan pengembangan dari dua tulisan sebelumnya, yang dibuat oleh penulis, menyoal banjir rob yang merendam 8 desa di Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, pada 11 Januari 2020 lalu. Delapan desa yang terendam rob, masing-masing; Ujumbou, Tondo, Dampal, Tanjung Padang, Balentuma, Tompe, Lompio dan Lende.
Dalam tulisan tersebut, sejarawan
maritim Universitas Tadulako (Untad), Wilman Darsono Lumangino mengatakan,
banjir rob ini selain disebabkan pasang akibat purnama, juga disebabkan oleh
datangnya musim pancaroba, yang bisa memicu ombak dengan ketinggian hingga
mencapai 4 meter. Banjir rob ini adalah yang paling parah di wilayah Kecamatan
Sirenja, sepanjang catatan sejarah.
“Indikasinya, lapangan Tanjung
Padang yang agak jauh dari pantai, kini juga tergenang,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat kebencanaan
Sulteng, Abdullah mengatakan, banjir rob di wilayah Kecamatan Sirenja ini, juga
dipengaruhi oleh penurunan muka tanah (downlift). Wilayah Sirenja sendiri kata
dia, merupakan satu dari 25 titik downlift, yang tersebar di wilayah Kota Palu
dan Kabupaten Donggala, pascabencana 28 September 2018.
Menurut Abdullah, downlift di
kawasan tersebut sudah permanen, tidak seperti di Desa Malino, Kecamatan
Balaesang, saat gempa bumi tahun 1968, yang sempat tergenang dan kemudian
mengalami uplift (penaikan muka tanah) secara perlahan dan pulih seperti
semula.
Mantan Dekan FMIPA Untad ini
mengatakan, pemerintah perlu menyiapkan lokasi untuk warga yang pemukimannya
mengalami downlift. Menilik sejarah kebencanaan di Sulteng, wilayah pesisir
kita sangat tidak aman, dengan tiga ancaman bencana yang selalu mengintai, seperti
gelombang pasang, abrasi, tsunami, serta downlift.
Korelasi Dengan Toponimi
Sementara itu, sejarawan UIN
Datokarama Palu, Moh. Sairin mengatakan, toponimi (penamaan) wilayah di
Kecamatan Sirenja, jika dilihat lebih lanjut, memiliki korelasi dengan fenomena
yang terjadi saat ini. Nama Sirenja sendiri kata dia, berasal dari bahasa
Tajio, Terenjes atau Sirenjes, yang artinya tanah berlumpur. Lokasi wilayah ini
kata dia, terletak di antara Desa Dampal, Sipi dan Jono.
Kemudian nama Tompe yang berasal
dari bahasa Kaili Rai, Nitompe, yang artinya dihempas dengan air. Selanjutnya,
nama Lompio berasal dari nama tumbuhan sejenis rumput yang hidup di kawasan
rawa.
Wilayah Sirenja kata Sairin,
dulunya juga merupakan wilayah penghasil sagu terbesar di kawasan Pantai Barat
dan Kabupaten Donggala, pada tahun 1960-an hingga 1970-an. Wilayah hutan sagu
ini sendiri kata dosen muda asal Desa Tanjung Padang ini, berubah fungsi
menjadi sawah, di antaranya di Desa Dampal, Tompe, Tanjung Padang, hingga
Lende, pada era revolusi hijau pada 1970-an hingga 1980-an.
Kemudian, sejarawan mairitim
Untad, Wilman Darsono Lumangino menjelaskan, nama Lende berasal dari bahasa Pendau, yang artinya
permukaan tanah yang lebih rendah dari permukaan air. Nama Lende juga disebut
berasal dari bahasa Mandar, Yende, yang artinya genangan air.
Kedua sejarawan ini menjelaskan,
relokasi adalah jalan keluar yang paling masuk akal dari fenomena tersebut.
Menurut keduanya, agak sulit untuk merevitalisasi kembali wilayah yang
digenangi air laut.
Normalisasi Sungai Bukan Solusi Tepat
Menyikapi banjir rob yang terjadi
di minggu kedua Januari 2020 tersebut, muncul wacana normalisasi sungai,
sebagai upaya penanganan awal banjir rob di Kecamatan Sirenja. Wacana ini
mendapat tanggapan dari sejumlah ahli, di mana mereka menilai, langkah tersebut
kurang efektif dalam mengatasi banjir rob.
Pengamat kebencanaan dari
Universitas Tadulako (Untad), Abdullah mengatakan, normalisasi sungai adalah
pengerukan dasar aliran sungai, yang telah mengalami pendangkalan. Sungai yang
dangkal kata dia, daya tampung airnya menjadi kecil, sehingga setiap terjadi
hujan deras di hulu, maka sungai tersebut akan meluap dan membanjiri
sekitarnya.
“Jadi, normalisasi sungai adalah
upaya menekan banjir, yang airnya berasal dari arah hulu (daratan), bukan air
yang datang dari arah laut,” ujarnya.
Rob Akibat Downlift
Banjir rob yang terjadi di
Kecamatan Sirenja kata Abdullah, terjadi akibat penurunan muka tanah
(downlift). Fenomena downlift ini kata dia, terdeteksi sekitar dua minggu
pascabencana, sekira tanggal 10 Oktober 2018.
Bencana downlift tersebut kata
dia, terdeteksi ketika air laut pasang, sehingga daratan yang dulunya tidak
tergenang air laut ketika air laut pasang, pascagempa daratan tersebut
tergenang, ketika air laut pasang dan disebut banjir rob.
“Awalnya, ada beberapa desa di
Kecamatan Sirenja yang terdeteksi mengalami downlift, yakni Lende Tovea, Lende,
Lompio, Tompe, Balentuma, Tanjung Padang, Dampal dan Tondo. Namun, ketika
terjadi pasang air laut yang lebih tinggi pada minggu kedua Januari 2020 dan
disertai gelombang besar, genangan air laut ke daratan semakin luas dan daratan
sekitar pantai Desa Ujumbou juga tergenang,” jelasnya.
Rob di wilayah tersebut menurut
Abdullah, terjadi 2 periode setiap bulan, masing-masing sekitar 6 hari, pada
sore – hingga malam hari. Biasa juga terjadi pada pagi hari. Rob tersebut
berdampak besar di wilayah yang mengalami downlift. Ratusan hektare sawah dan
kebun telah rusak, terutama di Tompe, Lompio dan Dampal. Bangunan termasuk
rumah warga dan infrastruktur yang tidak dirusak oleh gempa dan tsunami, juga
menjadi rusak. Sanitasi lingkungan juga rusak.
Ketika rob terjadi, maka air got
yang kotor akan bercampur dengan air rob. Demikian pula, isi septik tank juga
bercampur dengan air rob tersebut. Dalam jangka panjang, hal ini akan berdampak
terhadap warga yang hidup di wilayah tersebut. Selain itu, transportasi darat
juga terganggu, terutama pada ruas jalan antara Tompe – Lompio, yang merupakan
jalur Trans Sulawesi yang menghubungkan Palu – Tolitoli – Buol – Gorontalo.
Wilayah yang mengalami downlift
menurut Abdullah, bisa permanen pada posisinya yang sekarang, juga bisa pulih
seperti semula, jika mengalami uplift (peninggian kembali). Gempa Tambu 1968
kata dia, menyebabkan Kampung Lembu (pusat Desa Kambayang, Kecamatan Dampelas)
mengalami downlift yang permanen, dan sejak itu, kampung tersebut menjadi dasar
laut hingga sekarang.
Gempa Tambu 1968 juga menyebabkan
wilayah pantai Dusun Malino (sekarang Desa Malino, Kecamatan Balaesang)
mengalami downlift dan tergenang ketika air laut pasang. Tetapi wilayah pantai
dusun ini mengalami uplift kembali, sehingga 4 bulan setelah gempa tersebut,
wilayah pantai tersebut tidak lagi tergenang, atau tidak lagi mengalami rob,
ketika air laut pasang, hingga sekarang.
Tanggul: Solusi Jangka Panjang
Untuk mengatasi banjir rob
tersebut, Abdullah mencontohkan cara yang dilakukan Pemda DKI Jakarta untuk
mengatasi rob di Jakarta Utara, yakni dengan membangun tanggul beton di
sepanjang pantai. Kemudian, pada beberapa tempat tertentu dipasang pompa air,
yang berfungsi menyedot air rob untuk ditumpahkan ulang ke laut.
Hal ini kata dia, bisa diterapkan
untuk mengatasi rob di Kecamatan Sirenja. Tetapi, harganya mahal, karena harus
membangun tanggul beton, antara Ujumbou sampai Lende dan menyiapkan puluhan
pompa air untuk menyedot air rob tersebut.
“Harus tanggul beton, karena
kalau tanggulnya hanya dari tumpukan batu gajah misalnya, maka air laut akan
tetap masuk ke darat lewat celah-celah batu tersebut dan daratan akan tetap
tergenang,” ujarnya.
Namun secara pribadi kata
Abdullah, dirinya tidak setuju kalau banjir rob diatasi dengan cara seperti
yang dilakukan di Jakarta Utara. Menurutnya, selain karena biaya pembangunannya
mahal, yang tidak mungkin bisa didanai oleh APBD Donggala, biaya operasionalnya
juga akan mahal, karena butuh BBM, perawatan dan tenaga operator mesin pompa.
Kawasan Lindung: Solusi Tepat dan Murah
Dirinya menyarankan solusi yang
biayanya lebih murah, yang memungkinkan APBD untuk membiayainya, yakni wilayah
downlift tersebut dijadikan kawasan lindung, dan warga direlokasi, terutama
yang jarak rumahnya kurang dari 100 m dari pantai sampai 300 m dari pantai,
untuk Dusun I dan Dusun III Desa Tompe.
Kemudian, untuk menjaga garis
pantai tidak mundur ke arah darat, pantainya ditanggul dengan tumpukan batu
gajah, yang dikombinasi dengan vegetasi mangrove, agar ekosistem pantai dan
laut tetap terhubung. Ruas jalan antara Tompe – Lompio ditinggikan dengan cara
yang biasa, yang tentu biayanya lebih murah dibanding membuat jalan baru, yang
biayanya pasti lebih mahal.
Penanganan Rob Butuh Kajian Serius
Sementara itu, peneliti Balai
Pengkajian dan Penerapan Tenologi (BPPT), Widjo Kongko mengatakan, pascabencana
28 September 2018, Palu, Donggala dan sekitarnya, daratannya mengalami penurunan
dan penaikan. Namun hal ini perlu diukur ulang datum-datumnya
“Zona pesisirnya ambles, rawan
banjir dan rob, serta perlu dipetakan. Adapun solusi praktis dan adaptif yang
dapat dilakukan yakni relokasi,” ujarnya.
Adapun menurut Widjo Kongko,
untuk penanganan banjir rob, perlu dilakukan kajian yang komperehensif dan detail,
karena semua pendekatan ada plus minus dan pro kontranya. Normalisasi dan
tanggul kata dia, akan mahal dan berdampak lingkungan.
“Jika banjir/pasang rob tidak
terlalu masif, mengatur tata ruang dan greenbelt (sabuk hijau), bisa jadi
solusi,” ujarnya. JEF
0 Comments