PALU, JOURNASTORIA - "Saat saya putus asa ingin mengakhiri hidup, saya ingat kedua anak saya. Mereka yang memberikan kekuatan bagi saya, untuk bertahan hidup dari peristiwa itu," ujar Rosni Alatas Marunduh, istri mendiang almarhum Husni Alatas, yang juga penyintas kecelakaan pesawat Merpati di Gunung Tinombala, 29 Maret 1977.
Cerita ini disampaikan Rosni, saat menyampaikan testimoninya terkait kecelakaan pesawat tersebut, pada pameran memperingati 45 tahun peristiwa kecelakaan pesawat Merpati di Gunung Tinombala, Selasa (29/3/2022), bertempat di Bantaya Siralangi, Kelurahan Besusu Tengah, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu.
Menurut Rosni, kecelakaan itu terjadi, sekira 10 menit lagi pesawat sampai di tujuan, yakni Tolitoli. Kata dia, pesawat memotong jalur dari arah pantai timur leher Pulau Sulawesi ke pantai barat. Akibat memotong jalur ini kata dia, pesawat terjebak awan hitam, sehingga oleng.
“Saat pesawat oleng, Husni bilang ke saya untuk pasang sabuk pengaman, namun belum sempat memasang sabuk pengaman, cuma hitungan detik, pesawat jatuh. Anehnya, semua yang tidak pasang sabuk, itu yang selamat,” ujarnya.
Rosni terlempar sampai ke jurang d dekat lokasi pesawat jatuh. Pesawat itu sendiri jatuh di antara tiga pohon, sehingga tidak meledak.
“Saya berusaha mendaki dari jurang tersebut, dengan keadaan kaki yang patah sebelah, untuk naik mencari suami saya. Karena semua pakaiannya saya yang atur, jadi saya tahu posisi di mana dia berada, karena saya lihat dari pakaiannya. Saya menggunakan satu kaki, naik ke atas menggunakan akar. Bibir suami saya sudah biru, darah sudah menetes dari telinga dan hidung. Tidak lama kemudian dia langsung rebah, tapi kakinya masih bisa digoyangkan. Saya tuntun dia berdoa, dan akhirnya dia menghembuskan napas terakhir jam 3 sore, sedangkan pesawat jatuh sekitar 10.30,” urainya.
Rosni menceritakan, penumpang yang selamat berusaha untuk bertahan hidup dengan mencari buah. Saat itu, ada penumpang yang membawa buah-buahan untuk upacara Ceng Beng. Rosni sendiri menemukan tutup termos dengan sendok. Tutup termos ini yang digunakannya menampung air hujan.
“Air itu saya bagi ke penumpang yang selamat, diminum setiap sore saja, pakai sendok, masing-masing satu sendok,” ujarnya.
Rosni sempat meminta kepada penumpang yang turun untuk mencari pertolongan, agar tidak meniggalkan mereka. Namun mereka tetap pergi untuk mencari pertolongan. Pada hari ke sepuluh pascakecelakaan, dengan sajadah yang dijadikan bendera dan dilambaikan saat pesawat pencari korban melintasi area gunung tersebut, baru keberadaan mereka diketahui.
Rosni sendiri mengaku sempat putus asa dengan keadaan terjebak di gunung dengan cedera dan kondisi yang serba sulit. Namun kata dia, dirinya memutuskan untuk tetap berjuang untuk hidup, karena mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil.
“Jika saya putus asa, saya ingat lagi mereka. Keluarga saya bahkan hendak melaksanakan doa 7 malam untuk saya dan suami, tapi mama saya menolak. Mama saya yakin anaknya selamat dan hanya anak mantunya yang meninggal, karena anak saya yang bungsu saat tidur selalu berteriak papa, sampai kemudian demam tinggi,” ujarnya.
Rosni sendiri mengaku awalnya tidak ingin ikut dalam perjalanan tersebut. Namun dirinya dibujuk oleh Husni untuk ikut, agar dapat melihat keadaan wilayah Tolitoli.
“Husni bilang ke saya, ikut saja biar bisa lihat-lihat keadaan di luar,” ujarnya.
Setelah kejadian itu, Rosni mengaku seperti anak ayam kehilangan induk. Dengan posisi dirinya yang tidak bekerja, dirinya berpikir bagaimana menghidupi anak-anaknya kelak.
“Suami meminta saya untuk tidak bekerja. Saya sendiri bingung bagaimana menghidupi anak-anak saya. Untungnya, keluarga memberi dukungan,” ujarnya.
Rosni berpikir, dirinya harus berusaha sendiri. Namun, kehilangan Husni tetap menjadi kehilangan besar baginya.
“Saya setiap hari menyetir mobil, membawa anak sulung saya mengunjungi makam suami saya, berdiam di sana sampai sore, meluapkan kesedihan saya,” ujarnya.
Terkait firasat akan bencana tersebut, Rosni mengaku tidak ada firasat apapun. Namun kata dia, 3 bulan sebelum berangkat, Husni memasang terali besi di rumah juga memasang telepon. Dirinya memasang telepon, karena anak bungsunya sering sakit, sehingga akan lebih memudahkan untuk menghubungi keluarga.
“Saat kejadian, saya berpikir, semua kejadian itu tanda dan usaha beliau untuk melindungi orang di rumah sepeninggalnya,” ujarnya.
Terkait pelaksanaan pameran ini, dirinya merasa sangat terharu dan senang, peristiwa ini diangkat kembali. Dirinya bahkan ingin agar pada peringatan hari besar seperti 17 Agustus misalnya, janda-janda para wartawan diundang hadir.
Hal serupa juga dikatakan Lurah Besusu Barat, Aslinda. Dirinya mengapresiasi pelaksanaan pameran ini, sebagai upaya edukasi bagi masyarakat. Dirinya berharap kegiatan seperti ini dapat sering dilaksanakan. JEF
0 Comments