FOTO: Bangunan Sekolah Tionghoa di Tolitoli yang kemudian dijadikan asrama tentara Kompi C Batalyon 711 Raksatama. FOTO: Dokumentasi Muchsin Siradjuddin.
Setelah beberapa tahun terakhir fokus menggali sejarah tentang komunitas Tionghoa di Palu dan Donggala, saya mencoba untuk menelisik sejarah komunitas Tionghoa lainnya di Sulawesi Tengah (Sulteng). Catatan salah seorang jurnalis senior di Palu, Muchsin Siradjuddin memantik keingintahuan saya tentang komunitas Tionghoa di Tolitoli. Mulailah saya menggali sumber-sumber yang ada tentang Tolitoli di awal abad ke-20.
Salah satu sumber catatan yang
menjelaskan tentang komunitas Tionghoa di Tolitoli adalah catatan tentang Lanskap
Tolitoli yang disusun oleh Kontrolir Tolitoli, S. Kortleven pada tahun 1927. Pada
masa kolonial, Lanskap Tolitoli berada di bawah Onderafdeeling Tolitoli.
Onderafdeeling Tolitoli berada di bawah Afdeeling Donggala, yang membawahi
Onderafdeeling Palu, Onderafdeeling Donggala, Onderafdeeling Tolitoli dan Onderafdeeling
Buol. Lanskap Tolitoli sendiri terdiri dari tiga distrik, masing-masing Distrik
Tolitoli Utara, Distrik Tolitoli Tengah dan Distrik Tolitoli Selatan.
Penduduk Tionghoa di Tolitoli
menurut Kortleven, semuanya merupakan Tionghoa totok dari Hokkian yang juga
menikah dengan wanita Tionghoa totok. Akademisi Universitas Tadulako (Untad)
Mochtar Marhum sebagaimana dikutip dari topterkini.com menyebut, selain
Hokkian, penduduk Tionghoa di Tolitoli juga berasal dari Konghu (Kanton). Mereka disebut mengikuti
adat Tionghoa, sehingga kata dia, orang melihat pria dan wanita Tionghoa
berjalan-jalan dengan celana sutra hitam di mana-mana dan kapan saja.
Kortleven mencatat, sangat jarang
terjadi percampuran antara penduduk Tionghoa dengan penduduk asli; tetapi
sebagian besar pedagang dapat mengunakan bahasa Bugis maupun Melayu, juga bahasa
Tolitoli, Dondo, Bajo dan Kaili. Menurutnya, ikatan penduduk Tionghoa di
Tolitoli dengan Tiongkok tetap terjaga dengan kokoh. Hal ini dibuktikan dengan setiap
tahun sejumlah orang pergi untuk jangka waktu tertentu ke Tiongkok untuk
menikah atau mengunjungi kerabatnya. Namun menurut Mochtar Marhum, di Malosong,
warga keturunan Tionghoa Kanton rata-rata pintar bahasa Hokkian, dan sudah
kawin-mawin dengan masyarakat Tolitoli dari berbagai latar belakang suku dan
agama. Sebagian di antara mereka ada yang menikah dengan warga Tolitoli
suku Bugis. Selain itu, di Tolitoli kata dia, banyak penduduk lokal yang pandai
berbahasa Hokkian.
Kortleven mencatat, pada tahun
1927, satu atau lebih pedagang Tionghoa dapat ditemukan di hampir setiap
kampung di Onderafdeeling Tolitoli. Jumlah penduduk Tionghoa di Lanskap Tolitoli
saat itu mencapai 470 jiwa, terdiri dari 341 laki-laki dan 129 perempuan. Dari 470
jiwa penduduk Tionghoa ini, 249 di antaranya adalah wajib pajak. Kemudian berdasarkan
data sensus penduduk tahun 1930, jumlah penduduk Tionghoa di Lanskap Tolitoli
mengalami kenaikan signifikan, dari 470 jiwa menjadi 940 jiwa.
Lanjut Kortleven, sejak akhir
tahun 1925, penduduk Tionghoa di Tolitoli berada di bawah pimpinan seorang Kepala
Tionghoa, Tan Lian Kie, yang tinggal di Kampung Baru. Kampung Baru sendiri
berada di Distrik Tolitoli Tengah, yang di kemudian hari dikenal sebagai
Kelurahan Kampung Baru. Menurut Mochtar Marhum, penduduk Tionghoa di Tolitoli
bermukim di Malosong, wilayah dengan pertokoan berjejer panjang yang kini menempati
dua kelurahan yaitu Kampung Baru dan Lonti.
Menurut Mochtar Marhum, marga terbesar
penduduk Tionghoa di Tolitoli adalah marga Ang, lalu diikuti oleh marga Go.
Marga Ang sendiri merupakan penulisan dialek Hokkian untuk marga Wang sedangkan
marga Go merupakan penulisan dialek Hokkian untuk marga Wu.
Penduduk Tionghoa menurut
Kortleven menguasai semua komoditi ekspor di Tolitoli, terutama kopra dan rotan
dan hampir semua komoditi impor, seperti bahan makanan dan manufaktur. Kekuatan
dalam sektor perdagangan ini membuat banyak penduduk pribumi, kecuali orang
Bugis, berutang ribuan gulden kepada mereka dan diperkirakan jumlah total
pinjaman yang diberikan oleh semua pedagang Tionghoa sekitar setengah juta
gulden.
Selain sektor dagang, penduduk
Tionghoa di Tolitoli juga turut ambil bagian dalam upaya memajukan sektor
pendidikan di Tolitoli, dengan mendirikan sekolah. Belum ada keterangan psti
mengenai kapan sekolah Tionghoa di Tolitoli dibangun. Namun dalam catatan
Kortleven, pada tahun 1927 belum ada sekolah Tionghoa di Tolitoli. Saat itu,
baru terdapat sekolah negeri kelas 2 (sekolah standar) di Kampung Baru, sekolah
rakyat di Banagan yang dibuka sejak 1925, di Lingadan (sejak 1926), serta di
Laulalang dan di Bajugan (sejak 1927). Pada tahun 1927, gedung sekolah disiapkan
di Ogotua, Tinabogan, Kalangkangan, Galumpang dan Binontoan.
Pada tahun 1934, Asisten Residen
Donggala, Hirschmann menyebut, di Onderafdeeling Tolitoli terdapat satu sekolah
negeri, 11 sekolah rakyat, satu sekolah Tionghoa, serta 2 sekolah swasta,
masing-masing satu sekolah PSII yang disebut Islamiyah School dan satu sekolah
yang didirikan oleh PKM. Sekolah Tionghoa di Tolitoli menurut jurnalis senior
Muchsin Siradjuddin, terletak di wilayah Malosong. Sekolah Tionghoa di
Tolitoli, setali tiga uang dengan nasib sekolah Tionghoa di Palu dan Donggala,
tutup pascaperistiwa G30S.
Muchsin menyebut, pada tahun
1966, gedung sekolah ini dialihfungsikan sebagai tempat tinggal tentara, bisa disebut
juga asrama tentara, karena banyak tentara yang tinggal di situ. Bentuk
bangunan sekolah ini berpetak-petak, sehingga ruang kelas yang ada kemudian
disekat menjadi tempat tinggal. Menurut Muchsin, bangunan Sekolah Tionghoa ini
ditempati oleh Kompi C Batalyon 711 Raksatama. Setelah Kompi C Batalyon 711
Raksatama dipindahkan ke Kalangkangan, bangunan ini pun diambil alih oleh Kodim
1305 Buol Tolitoli.
0 Comments