Dari Hagala Hingga Hampers: Transformasi Toleransi dan Silaturahmi Lewat Hadiah Lebaran

FOTO: Ilustrasi Hampers Lebaran. FOTO: https://biteship.com/


Langit Palu hari itu biru bersih tanpa awan. Pengukur suhu di gawai Lusi (35), menunjukkan angka 37 derajat Celcius. Hari itu, Bulan Suci Ramadan telah memasuki penghujung. Lusi yang sedari awal Ramadan disibukkan dengan orderan kue kering untuk Lebaran, telaten menyiapkan pesanan. Sambil menyiapkan pesanan kue kering, Lusi yang merupakan warga keturunan Tionghoa di Palu, juga menyiapkan hampers atau bingkisan Lebaran berupa cake, yang akan diberikan kepada keluarga dan kerabatnya yang merayakan Lebaran. Cake tersebut dimasukkan ke dalam dus yang telah dihiasi dengan pita dan diselipkan kartu ucapan Lebaran.

  

Beberapa tahun terakhir, Hampers memang menjadi pilihan bagi masyarakat, untuk bertukar hadiah dalam berbagai momen perayaan, termasuk momen perayaan hari besar keagamaan seperti Lebaran. Budaya mengirimkan Hampers menurut Ananda, sebagaimana dikutip dari gramedia.com, rupanya telah muncul sejak abad ke-11 di Prancis. Hampers mulanya disebut dengan nama Hanapier dan dibuat dengan sebuah keranjang anyaman, dengan bahan baku kayu willow. Isi dari keranjang tersebut adalah minuman serta makanan yang akan dibawa untuk berburu serta melakukan perjalanan cukup lama. Nama Hanapier kemudian diserap ke dalam Bahasa Inggris dengan nama Hamper di Inggris pada zaman Victoria. Pada tahun 1066, Raja William di Inggris kemudian mendapatkan tradisi untuk mengirimkan Hamper, yang berasal dari Prancis.

Ananda menjelaskan, pada mulanya, saling mengirimkan hampers tidak memiliki tujuan untuk menjalin silaturahmi, atau memberi hadiah di perayaan besar seperti saat ini, akan tetapi untuk menyumbang beberapa bahan kepada orang yang membutuhkan, karena saat itu kondisi perang telah membuat banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan, sehingga isi dari Hampers saat itu adalah makanan yang bisa disimpan oleh penerima hampers selama beberapa minggu.

Tujuan mengirimkan Hampers kemudian berubah menjadi bingkisan yang berhubungan dengan perayaan keagamaan yang muncul di akhir tahun 1800-an. Pada tahun tersebut transportasi modern sudah ditemukan, seperti kereta api yang dapat mempermudah proses pengiriman Hampers dan paket lainnya, sehingga ketika transportasi modern mulai muncul, orang-orang pun mulai sering saling berkirim hadiah atau Hampers. Pertama kali Hampers dikirimkan sebagai hadiah dalam perayaan keagamaan di momen Natal. Isi Hampers pun semakin beragam, tidak hanya makanan saja.

Sebelum istilah Hampers digunakan untuk menyebut bingkisan hadiah Lebaran, masyarakat lebih dulu mengenal istilah Parsel. kata Parsel sebenarnya berasal dari bahasa Perancis lama, yaitu Parcelle yang kemudian diserap dalam bahasa latin menjadi Particella, yang bermakna sejumlah barang dalam satu paket. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri mengartikan Parsel sebagai bingkisan yang berisi berbagai hadiah, seperti aneka kue, makanan dan minuman dalam kaleng, barang pecah belah, yang ditata apik dalam keranjang dan dikirimkan kepada orang-orang tertentu pada hari raya. Adapun kata Hampers juga diserap oleh KBBI menjadi Hamper, yang memiliki arti sama seperti Parsel.

Perubahan Tradisi Hadiah Lebaran

Sejarawan kuliner Universitas Padjadjaran (Unpad), Fadly Rahman, sebagaimana dilansir dari Tempo mengatakan, jejak tradisi mengirim hantaran Lebaran dapat ditelusuri pada momen hari raya panen yang berlangsung di masa kerajaan abad ke-16. Dikutip dari laman unpad.ac.id, Fadly mengemukakan, bila melihat dari sisi historis, tradisi mengirimkan hantaran dipengaruhi oleh dua masa kebudayaan, yaitu prakolonial serta kebudayaan kolonial. Tradisi ini memang khas menunjukkan kerukunan masyarakat agraris di Nusantara.

Di masa prakolonial, tradisi mengirimkan hantaran banyak dilakukan masyarakat pada hari yang memiliki momen khusus, seperti ketika hari raya panen hingga hari raya keagamaan. Hantaran diberikan kepada antar tetangga sebagai bentuk ekspresi raya syukur atas limpahan hasil pangan. Tidak hanya antar tetangga, tradisi ini juga dilakukan masyarakat agraris kepada pihak kerajaan. Di hari raya, rakyat biasa mengirimkan upeti kepada kerajaan berupa makanan dan bahan pangan sebagai bentuk syukur kepada penguasa.

Fadly menuturkan, jenis makanan yang menjadi hantaran di masa prakolonial berupa kudapan tradisional, seperti rengginang, dodol, dan wajit yang beken di kalangan masyarakat lokal. Seiring masa kolonial masuk, tradisi ini tetap dipertahankan oleh masyarakat, tetapi ada dinamika di dalamnya. Fadly menjelaskan, dinamika terlihat dari wujud makanannya. Pada masa ini, kudapan yang berasal dari benua Eropa mulai menjadi hantaran selain kudapan lokal. Sebut saja jenis kue nastar, kastengel, hingga putri salju.

“Dulu kue-kue yang dibuat keluarga Eropa dijadikan hantaran antar kaum priyayi. Masyarakat Muslim kalangan priyayi pada masa lalu itu menerima hantaran dari orang Eropa,” paparnya.

Fadly Rahman sebagaimana dikutip dari ANTARA mengatakan, kue kering seperti nastar, kastengel, lidah kucing, dan putri salju yang populer disajikan sebagai kudapan khas Lebaran memiliki makna toleransi di baliknya. Selain keluarga Eropa, kalangan yang mengonsumsi kue-kue kering itu mulanya hanya keluarga priyayi atau ningrat, sebab merekalah yang memiliki akses hubungan dengan orang-orang Eropa, hingga kemudian dibuat di rumah-rumah tangga pribumi kebanyakan.

Pada masa itu, antara keluarga priyayi dan keluarga Eropa memiliki hubungan yang berkaitan dengan kepentingan politik, ekonomi atau bisnis. Itu memang membuka hubungan yang terbuka dalam kaitan hantar-menghantarkan makanan. Tradisi hantaran tak hanya terjadi saat Lebaran. Sebaliknya, ketika momen hari raya bagi orang-orang Eropa tiba, seperti Natal, maka keluarga pribumi juga turut menghantarkan makanan tradisional. Hantaran tersebut berupa berbagai jenis hidangan Lebaran seperti ketupat, opor, kari, rendang, serta kue basah tradisional yang disajikan di dalam rantang.

Fadly mengatakan, tradisi hantaran berupa tukar rantang menunjukkan kekhasan masyarakat agraris. Selain berfungsi sebagai wadah bekal, secara sosial-budaya, rantang memiliki arti simbolik sebagai perekat hubungan antartetangga atau kerabat ketika digunakan untuk hantaran.

"Ketika dikirimi dalam bentuk rantang, secara spontan kita akan membalasnya. 'Ah, malu kalau kita mengembalikan dalam kondisi kosong.' Lalu kita akan mengisinya kembali dengan makanan-makanan," katanya, dilansir dari Tempo.

Hagala Hingga Hampers

Masyarakat Sulawesi Tengah, juga telah mengenal tradisi hadiah Lebaran sejak lama. Hagala, demikian masyarakat menyebut tradisi tersebut. Istilah Hagala sendiri diyakini berasal dari bahasa Kaili. Namun dalam Kamus Bahasa Kaili Ledo yang disusun oleh Donna Evans, kata Hagala tidak tercantum. 

Hagala dapat dimaknai sebagai "hadiah Lebaran" yang ditujukan bagi anak-anak, maupun orang dewasa. Hagala biasanya dibagikan saat momen hari Lebaran, namun Hagala juga kerap dibagikan sebelum momen Lebaran tiba. Bentuknya tidak cuma uang, bisa berupa bahan kebutuhan pokok, pakaian, kebutuhan hari raya seperti kue kering dan minuman, dan hal lainnya. 

Dosen Antropologi Universitas Tadulako (Untad), Muh. Nasrun dalam Jurnal Antropologi Indonesia mengatakan, Hagala identik dengan Saweran atau Bantingan bagi orang Jawa, Panynyoori bagi orang Makassar, Passolo bagi orang Bugis, Terma Silehonlehon bagi orang Batak, dan Angpao bagi orang Tionghoa. 

Penulis menemukan, tradisi Hagala bukan hanya ada di Sulawesi Tengah. Masyarakat Nusa Tenggara Barat (NTB), juga mengenal Hagala. 

Guru SD Negeri 13 Kolo Kota Bima, Purnama Disastra dalam tulisannya tentang Hagala mengatakan, tradisi Hagala itu sudah puluhan tahun lamanya di Bima. Belum ada penelitian, sejak kapan pastinya tradisi Hagala itu dimulai.

Hagala menurut pemahamannya adalah seorang yang berlebih harta memberi kepada yang kekurangan. Pemahaman itu berkembang sesuai dengan keadaan jaman, di mana Hagala selain dibagikan tetapi lebih ke arah 'meminta'. 

"Jadi, jangan heran kalau kamu berlebaran di Bima, ada kata-kata 'Mbei Ja Hagala ni'. 'Be Hagala Mada/ Nahu?'. 'Ake, Hagala'," jelasnya. 

Penulis belum menemukan kapan pastinya tradisi Hagala mulai berkembang di Sulawesi Tengah dan dari mana tradisi tersebut berasal. Penulis juga belum menemukan, sejak kapan Hagala mulai dikonotasikan dengan pembagian sejumlah uang, bukan lagi barang. Namun, jika dilihat berdasarkan praktiknya, pembagian sejumlah uang saat momen Lebaran kepada anak-anak dan orang dewasa yang bersilaturahmi ke rumah orang yang merayakan Lebaran, telah terekam dalam catatan ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Nicolaus Adriani dan etnolog berkebangsaan Belanda, Albertus Christiaan Kruyt. 

Keduanya mencatat  hal tersebut dalam buku De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang dipublikasikan pada tahun 1912. Buku ini, salah satunya menuliskan pengamatan mereka terhadap apa yang dilakukan masyarakat di selatan Teluk Tomini, dalam momen Ramadan dan Idulfitri.

Keduanya dalam buku ini menceritakan, Raja Todjo, Lariwoe (Lariwu), biasa memberikan uang kepada setiap tamunya pada hari raya. Jumlahnya bervariasi, di mana 1 gulden untuk orang dewasa dan 0.25 hingga 0.50 gulden untuk anak-anak. Kunjungan ini dilakukan bersama selama dua atau tiga hari. Raja Lariwu sendiri diperkirakan memerintah antara 1816-1836. Berarti dapat diperkirakan, sejak awal abad ke-19, tradisi membagikan uang kepada anak-anak dan orang dewasa oleh orang yang merayakan Lebaran di wilayah Sulawesi Tengah sudah berlangsung sejak saat itu. 

Tradisi memberikan hadiah Lebaran juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Palu, kepada masyarakat Muslim yang merayakan Lebaran. Sejak awal kedatangannya ke wilayah Palu, masyarakat Tionghoa telah menjalin relasi dengan masyarakat lokal dan masyarakat tempatan lainnya yang bermukim di Palu. Relasi ini hadir melalui interaksi mereka sebagai pedagang  yang menyediakan berbagai kebutuhan masyarakat. 

Kenyataan bahwa pemeluk Islam menjadi mayoritas penduduk di wilayah Palu membuat masyarakat Tionghoa yang bermukim di sana, menjalin relasi dengan masyarakat Muslim. Relasi ini terlihat sejak awal kehadiran masyarakat Tionghoa di wilayah Palu. Mereka menyewa tanah milik Magau Palu, Djanggola (1921-1945), yang terbentang di sepanjang wilayah Ujuna, Kampung Baru, dan Siranindi. Salah seorang warga keturunan Tionghoa di Palu, Ricky Chowindra (A Kiong) mengatakan, saat bermukim di Palu, ayahnya, Tjio Thian Siong menyewa tanah untuk dijadikan tempat tinggal pada Andi Rotja Djanggola, anak dari Magau Palu, Djanggola. Menurutnya, sebagian besar pendatang Tionghoa menyewa tanah dari Andi Rotja Djanggola, untuk dijadikan sebagai tempat tinggal.

Relasi yang dibangun masyarakat Tionghoa dengan keluarga bangsawan di Palu ini, menurut penulis juga merupakan salah satu upaya mereka untuk mendapatkan legitimasi dalam hal keamanan dalam berdagang. Relasi ini juga kemudian dapat dimaknai sebagai bentuk penerimaan kelompok bangsawan di Palu yang juga notabene berprofesi sebagai pedagang, kepada masyarakat Tionghoa yang bermukim di Palu.

Relasi ini sendiri menghadirkan berbagai kisah menarik. A Kiong mengisahkan, pada momen Lebaran, masyarakat Tionghoa yang tinggal di kawasan Ujuna, Kampung Baru dan Siranindi, akan mengirimkan bingkisan kepada keluarga bangsawan di Palu. Bingkisan itu berupa kue, limun, dan aneka barang lainnya. Bingkisan ini nantinya akan ditukar dengan makanan khas Lebaran, seperti Ketupat, Burasa, Kalopa, Mandura, serta aneka masakan tradisional khas Lebaran lainnya. Kini, tradisi tersebut tetap dilakukan kepada relasi mereka yang beragama Islam, namun dalam bentuk Parsel atau Hampers.

Hal serupa juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di Palu yang beragama Muslim. Salah satunya adalah Mohammad Ceng. Pada momen Lebaran, dirinya mengirimkan aneka makanan khas lebaran, seperti Burasa, Kalopa, Mandura dan Ketupat, kepada keluarganya yang non Muslim. Selain kepada keluarga, dirinya juga mengirimkan makanan tersebut kepada orang Tionghoa yang menjalin relasi dengannya. Kiriman makanan tersebut biasanya ditukar dengan uang atau bingkisan, berupa kue atau Parsel.

Walau wujudnya telah berubah, Fadly Rahman, sebagaimana dikutip dari Tempo mengatakan, esensi serta makna hantaran tidak berubah signifikan. Namun, pada masa sekarang, telah umum orang mengirim hantaran, sebagai tanda ucapan terima kasih atau ucapan hari raya dari rekan kerja, tanpa mengharap balasan atau tanpa saling bertukar. Hal tersebut terjadi seiring pergeseran hantaran, yang telah dikomersilkan atau dijadikan lahan bisnis.

Terlepas dari transformasi bentuk hantaran atau hadiah Lebaran, dari Hagala menjadi Hampers, semangat toleransi dan silaturahmi di dalamnya, nampaknya tidak berubah. Hal yang berubah adalah konotasi dari hadiah yang diberikan. Hagala kini dikonotasikan dengan uang dan kesannya lebih ke “meminta” daripada “menerima”, sedangkan Parsel atau Hampers sendiri, kerap dipandang menjadi “ukuran” status sosial pemberi dan penerimanya. ***

 


Post a Comment

0 Comments