Pudarnya Tradisi Motunju Poindo

FOTO: Ilustrasi Motunju Poindo. FOTO: Hulondalo.id










Oleh: Reza Aditama, Herlinda, Jefrianto

Malam ke tujuh belas Ramadan akan segera tiba. Menyambut malam Lailatul Qadar hingga malam lebaran, masyarakat Desa Tomoli Utara, Kecamatan Toribulu, Kabupaten Parigi Moutong biasanya melaksanakan dengan sebuah tradisi yang disebut dengan Mo Tunju Poindo, atau tradisi menyalakan lampu. Lampu dinyalakan di rumah masing-masing, dengan tujuan agar mendapat berkat di malam-malam terakhir Ramadan.

Salah seorang tokoh masyarakat setempat, Damsi (65), masih ingat betul bagaimana tradisi ini dahulu masih sering dilakukan oleh masyarakat desanya. Lampu yang terbuat dari kerang, diberi minyak kelapa, lalu diberi kapas sebagai sumbunya. Lampu kemudian dibakar di depan rumah dan bukan hanya sebagai sumber penerangan, melainkan mempunyai makna spiritual religius di dalam pelaksanaanya. Tradisi ini dilakukan di antara malam tujuh belas Ramadan hingga malam terakhir Ramadan, guna untuk mendapat berkah dari malam Lailatul Qadar, malam yang lebih baik dari seribu bulan. 

Tradisi ini juga merupakan bagian dari tradisi Nolabe atau tradisi mengucap syukur untuk menyambut Ramadan, di mana ada tiga rangkaian dalam Nolabe di bulan Ramadan. Pertama, Nolabe yang dilakukan sebelum Ramadan, yaitu untuk menyambut bulan suci Ramadan. Kedua, adalah tradisi yang disebut Mo Tunju Poindo, atau mengucap syukur karena telah menjalankan puasa pada Ramadan tersebut. Terakhir, Nolabe yang dilakukan setelah Ramadan.

Mo Tunju Poindo sendiri adalah kegiatan yang dilakukan sebelum Nolabe pada saat Ramadan, di mana pegawai syara atau imam yang hendak melakukan Nolabe, harus menyalakan lampu terlebih dahulu, baru kemudian masuk ke dalam rumah, untuk melakukan pembacaan doa, sebagai proses dalam Nolabe tersebut.

Dari segi nilai tradisi, masyarakat setempat memiliki keyakinan tersendiri terhadap tradisi ini. Warga Desa Tomoli Utara lainnya, Husrin (65) mengatakan, tradisi Mo Tunju Poindo ini sendiri dilaksanakan karena masyarakat meyakini, Lailatul Qadar suka pada sesuatu yang terang. Jadi, supaya masyarakat menyalakan lampu, agar Lailatul Qadar datang di rumah mereka.

Pembuatan lampu untuk tradisi ini biasanya dilakukan oleh anak-anak, terutama dalam hal mencari cangkang kerang, untuk dijadikan sebagai tempat minyak untuk lampu tersebut. Cangkang kerang yang digunakan adalah cangkang kerang bekas, yang ditinggalkan para pengumpul kerang. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya dengan sebutan Kalatue.

Namun seiring waktu, tradisi ini mulai pudar atau tergerus oleh zaman. Lampu yang terbuat dari cangkang kerang dan berbahan bakar minyak kelapa itu, kini berubah menjadi lilin dan lampu-lampu modern yang berbahan bakar minyak tanah. Dari segi nilai tradisi, juga sudah mulai bergeser, di mana saat ini, masyarakat hanya sekedar membakar lampu saja, akan tetapi tidak membacakan doa selamatan, atau Nolabe lagi. Pudarnya tradisi ini bisa juga dilihat dari perubahan bangunan rumah-rumah warga, dari semi permanen atau rumah yang berbahan dasar kayu, ke rumah- rumah permanen yang terbuat dari beton, sehingga dapat dibuatkan tempat khusus di depan rumah, agar api dari lampu tersebut tidak membakar rumah.

Tradisi menyalakan pelita saat Ramadan ini, ternyata sudah sejak lama dilakukan. Ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Nicolaus Adriani dan etnolog berkebangsaan Belanda, Albertus Christiaan Kruyt, dalam De Bare'e-sprekende Toradja's van Midden-Celebes yang dipublikasikan pada tahun 1912, menuliskan pengamatan mereka terhadap apa yang dilakukan masyarakat di selatan Teluk Tomini,dalam momen Ramadan dan Idul Fitri.

Keduanya menulis, pada hari ke-15 bulan puasa, pada malam hari, masyarakat melaksanakan ritual yakni Koenoe. Koenoe (Qunu) ini sendiri identik dengan Qunut yang dilaksanakan pada salat Witir sesudah salat Tarawih. Pada kesempatan ini juga, dilakukan tradisi siram kubur.

Kemudian, memasuki hari ke-27 bulan puasa, itu beberapa potong kulit pisang dikumpulkan dan ditempatkan di rumah pada beberapa lokasi, yang diatur di tangga. Kemudian, tumpukan damar yang dihancurkan, ditempatkan di atas wadah tersebut. Saat malam tiba, damar dinyalakan, sehingga seluruh desa diterangi. Lampu ini juga diletakkan di makam dan kembali dilakukan ritual siram kubur. Orang-orang disebut tidak tahu arti dari ritual ini dan mengklaim bahwa itu hanya berfungsi untuk mempersiapkan penyerahan diri. Dengan lampu yang menyala ini, orang-orang memperingati penyerahan Alquran oleh Allah ke bumi.

Menyalakan pelita yang terbuat dari kulit Kalatue tersebut, juga menjadi tradisi masyarakat yang berada di wilayah Kasimbar. Samania (77), warga Desa Ogodopi, Kecamatan Kasimbar, Kabupaten Parigi Moutong mengatakan, tiga hari menjelang lebaran, masyarakat akan menyalakan pelita yang terbuat dari kulit Kalatue.Pelita ini dinyalakan di halaman rumah sebanyak 7 buah, selama 3 hari berturut-turut. Kebiasaan ini kata dia, dilaksanakan sekitar tahun 1960-an. 

Pudarnya tradisi ini di wilayah Desa Tomoli Utara, diperkirakan baru terjadi pada sepuluh tahun terakhir, tepatnya pada tahun 2010, di mana tradisi ini benar-benar sudah tidak dilakukan lagi. Hal yang sama juga terjadi di Desa Ogodopi, di mana kehadiran lilin aneka warna dan menjadi salah satu andil pudarnya tradisi ini.***

Post a Comment

0 Comments