(Dari motoris, jurumudi, hingga kepala klerk — kisah para pekerja lokal dalam jaringan pelayaran kerajaan Belanda)
Di tepian laut biru Teluk Palu, tempat perahu dan kapal saling bersilang antara kopra, rotan, dan kabar dari seberang, berdiri pelabuhan Donggala, salah satu pelabuhan penting di jalur pelayaran barat Sulawesi Tengah.
Sejak awal abad ke-20, pelabuhan ini menjadi titik singgah tetap bagi kapal-kapal Koninklijke Paketvaart
Maatschappij (K.P.M.), perusahaan pelayaran kerajaan Belanda yang berdiri pada 4
September 1888 di Amsterdam dan mulai beroperasi 1 Januari 1891 dengan 29 kapal
uap.
K.P.M. bukan sekadar perusahaan kapal; ia adalah tulang punggung logistik Hindia Belanda. Dari Donggala, muncullah para pegawai bumiputera yang dengan setia menjadi bagian dari jaringan maritim kerajaan itu, di antara mereka ada Salim Ambo Bunga, Hasan bin Z. Abidin, Lahema Latontji, Lapai Lasuki, Arsad Ladandoe, Lapatji Lamama, dan Lanengke Jabani.
![]() |
| Sumber: de Uitlaat |
Salim Ambo Bunga – Motorist Setia dari Donggala
Lahir pada tahun 1890, Salim Ambo Bunga bergabung dengan K.P.M. pada 1 Juli 1918 sebagai motorist. Ia sempat berhenti bekerja pada 1 Januari 1934 atas permintaannya sendiri, namun kembali lagi dua tahun kemudian.
Pada 1 Oktober 1955, perusahaan
mencatat peringatan 35 tahun masa kerja dan memujinya sebagai pegawai yang
“telah bekerja dengan setia.” Hingga tahun itu, Salim masih bertugas di kantor
perwakilan K.P.M. Donggala, lambang dedikasi tenaga lokal di dunia teknik
maritim modern.
![]() |
| Sumber: de Uitlaat |
Hasan bin Z. Abidin – Dari Sekolah Melayu ke Kepala Klerk
Lahir 12 Mei 1911 di Donggala,
Hasan menamatkan pendidikan di Sekolah Melayu dan bekerja di perusahaan Belanda
Borsumij sebelum bergabung dengan K.P.M. pada 10 Agustus 1928.
Setelah perang dunia dan pendudukan Jepang, ia kembali bekerja tanpa menunggu
panggilan. Ia naik pangkat berturut-turut, dari klerk ke-2 (1946), klerk
pertama (1948), dan hoofd-klerk kelas II (1951).
Majalah De Uitlaat (Juni
1956) menulis:
“Kami berharap ia masih akan
dapat mencurahkan tenaganya bagi K.P.M. selama bertahun-tahun lagi.”
Hasan adalah wajah baru birokrasi
maritim Donggala; terdidik, teliti, dan loyal dalam sistem administrasi
pelayaran kolonial.
Lahema Latontji dan Lapai Lasuki – Kawan Sekapal, Seperjuangan
Keduanya lahir di Donggala dan
sama-sama bergabung pada 1 Juli 1932 sebagai kuli pelabuhan. Setelah dua dekade
bekerja, keduanya diangkat menjadi jurumudi perahu pada Agustus 1953.
Catatan K.P.M. memuji mereka
karena “memuaskan sepenuhnya pihak atasannya.”
Dari buruh pelabuhan menjadi
jurumudi, mereka adalah contoh nyata mobilitas sosial pekerja pesisir. Dalam
kehidupan mereka, kerja di pelabuhan bukan sekadar profesi, tapi kehormatan
menjaga kapal agar tetap berlayar.
![]() |
| Sumber: de Uitlaat |
Arsad Ladandoe – Pegawai Kantor
dari Pesisir Barat
Lahir Desember 1905, Arsad
memulai kariernya di K.P.M. pada 1 Oktober 1929 sebagai klerk. Ia kemudian
dipromosikan menjadi klerk ke-3 (1946), klerk ke-2 (1947), dan klerk pertama
(1951).
Ia merupakan salah satu dari
sedikit pegawai lokal yang dipercaya mengelola surat kapal, keuangan, dan
catatan logistic, posisi penting di pelabuhan yang sibuk seperti Donggala.
![]() |
| Sumber: de Uitlaat |
Lapatji Lamama – Tukang Kayu dan
Penjaga Kapal
Lapatji Lamama, lahir 7 September
1912, bekerja di K.P.M. mulai 1 Agustus 1929 sebagai tukang kayu tingkat II. Ia
memelihara kapal, memperbaiki lambung, dan memperkuat dek.
Pada 1 Januari 1951 ia menjadi tukang kayu tingkat I, dan dua tahun kemudian
merayakan jubileum 25 tahun.
Majalah De Uitlaat
(Agustus 1954) menulis:
“Mudah-mudahan ia masih dapat
mencurahkan tenaga bertahun-tahun lagi bagi K.P.M.”
Keterampilan Lapatji adalah
contoh bagaimana keahlian tradisional perahu kayu Donggala bertemu dengan dunia
industri kapal uap.
![]() |
| Sumber: de Uitlaat |
Lanengke Jabani – Komandan
Motorboot “Mieke”
Lahir tahun 1903, Lanengke Jabani
masuk K.P.M. pada 1 Juli 1921 sebagai jurumudi. Ia dikenal luas karena memegang
kendali atas motorboot “Mieke”, kapal kecil penghubung antar-pulau.
Pada 1 Juli 1956, ia merayakan 35 tahun masa kerja. Ucapan perusahaan:
“Selamat berlayar terus,
Lanengke!”
Ia mewakili jiwa pelaut Donggala,
tenang di bawah tekanan, tak gentar pada badai.
K.P.M. dan Laut Donggala: Dari
Kapal Uap ke Motorboot
![]() |
| Kapal Swartenhondt. Sumber: https://www.maritiemdigitaal.nl/ |
Pelabuhan Donggala dan Palu secara rutin disinggahi oleh kapal-kapal K.P.M. sejak awal abad ke-20. Pada 1910 tercatat kapal Baud berlabuh di Palu dan Donggala; setahun kemudian Van Riemsdijk (1911). Tahun 1929 kapal Barentsz dari Semarang singgah di Donggala dan Wani, disusul Roggeven, Swartenhondt, dan Van Cloon (1930).
Hingga pertengahan 1950-an,
armada K.P.M. yang melayani rute ke Donggala terdiri atas kapal-kapal, seperti Bontekoe,
Bengawan, Swartenhondt, Barentsz, Reyniersz, Musi, dan Waiwerang.
![]() |
| Iklan K.P.M. di surat kabar Java Bode edisi 10 Januari 1957. Nampak nama kapal Swartenhondt yang melayani rute ke Donggala. Sumber: Delpher |
Kapal-kapal ini beroperasi rutin membawa barang dagangan, pos, serta penumpang dari Makassar dan Manado menuju Donggala hingga 1957, tahun ketika kegiatan K.P.M. di Indonesia resmi berakhir akibat nasionalisasi.
Mereka adalah saksi terakhir masa
kolonial maritim di Teluk Palu, masa ketika bendera K.P.M. masih berkibar di
atas laut Donggala.
Dari K.P.M. ke PELNI: Akhir
Sebuah Era
Pada Desember 1957, pemerintah
Indonesia menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda, termasuk K.P.M., sebagai
respons terhadap konflik Irian Barat. Armada dan pegawainya diambil alih oleh Pelayaran
Nasional Indonesia (PELNI).
Langkah ini menandai berakhirnya
sejarah panjang K.P.M. di Nusantara, tetapi juga melahirkan generasi baru
pelaut nasional yang banyak di antaranya berasal dari Donggala dan Sulawesi
Tengah.
Warisan Anak Laut Donggala
Kisah para pegawai K.P.M. asal
Donggala, dari Salim si motorist, Hasan si klerk, hingga Lanengke sang jurumudi,
adalah kisah manusia yang menjaga denyut laut. Mereka bukan tokoh besar, namun di tangan merekalah kapal-kapal itu tetap
hidup, berlayar, dan menyambung pulau-pulau.
Kini, nama-nama kapal seperti Bontekoe,
Bengawan, Swartenhondt, Barentsz, Reyniersz, Musi,
dan Waiwerang tak lagi melintas di Teluk Palu. Tapi gema peluit mereka
masih terasa dalam kenangan, mengingatkan kita bahwa di balik setiap kapal
besar, selalu ada tangan-tangan kecil dari pelabuhan seperti Donggala yang
membuatnya tetap bergerak.








0 Comments