Dua Budayawan dari Teluk Palu: Arsip dan Suara yang Menjaga Ingatan



Dari balik redupnya lampu Auditorium Museum Negeri Sulawesi Tengah, dua potret menyeruak dari dinding: dua wajah yang menatap jauh melampaui waktu. Di sisi kanan gedung, tergantung foto seorang lelaki berkumis tipis, berkemeja rapi dengan tatapan tajam yang seolah menembus lensa kamera. Di bawah potret itu tertulis nama M.S. Din. Di sisi kiri, terpampang foto seorang lelaki paruh baya dengan rambut dan janggut yang telah memutih, mengenakan kaus sederhana, menatap lurus ke depan dengan ketenangan seorang penulis yang sudah berdamai dengan kata. Di bawahnya tercetak nama T.S. Atjat.

Di belakang masing-masing potret itu terpajang catatan karya, profil singkat, dan nukilan tulisan mereka. Dua nama ini, M.S. Din (Masyhuddin Masyhuda) dan T.S. Atjat (Sjarief Magribi) bukan hanya sebagai foto di dinding, tapi sebagai ingatan yang berdenyut dalam ruang yang sama.

Potret kedua tokoh ini mewarnai pameran yang menjadi salah satu bagian dalam rangkaian Festival Sastra Tadulako Notutura (FSTN) yang merupakan event sastra tahunan Komunitas Seni Lobo. Berbeda dengan festival sastra atau festival literasi sejenisnya, Festival Sastra Tadulako Notutura ini menggunakan tema tokoh, baik itu tokoh yang memiliki pengaruh pada bidang sastra, seni, budaya dan literasi. Tema ini menjadi kunci dalam materi kegiatan juga sebagai bentuk apresiasi dari Komunitas Seni Lobo pada tokoh-tokoh yang memiliki andil besar di Sulawesi Tengah dalam bidang profesionalitasnya masing-masing. Tahun ini merupakan pelaksanaan FSTN kali ke-9 dan terasa spesial menuju 1 dekade FSTN.   

Dalam pameran itulah, dua sosok yang diangkat tahun ini, M.S. Din dan T.S. Atjat, tidak hanya hadir sebagai tema, tetapi sebagai roh yang menuntun seluruh perhelatan. Pilihan Komunitas Seni Lobo untuk menyoroti keduanya bukan tanpa alasan: keduanya mewakili dua wajah kebudayaan Sulawesi Tengah yang saling bertaut. Satu membangun ingatan kolektif melalui arsip dan institusi, sementara yang lain menjaga denyut bahasa dan lisan di tengah masyarakat. Dari titik inilah, percakapan antara keduanya seolah dimulai, percakapan yang melintasi waktu, ruang, dan cara pandang tentang bagaimana kebudayaan seharusnya hidup.

Keduanya menulis dari jalan yang berbeda. Masyhuddin menapaki jalur birokrasi: menulis laporan, menyusun monografi, mendirikan museum, dan mengarsipkan adat. Ia percaya bahwa pelestarian kebudayaan harus memiliki tempat yang kokoh, tercatat, dan diakui negara. T.S. Atjat berjalan di jalan lain, jalan seorang pejalan kaki, seorang penyair yang mengumpulkan bahasa dari mulut rakyat, menulis puisi dalam bahasa Kaili, dan mempercayai bahwa kebudayaan hanya hidup bila terus diucapkan.

Malam itu, di antara dua potret yang diam namun bersuara, para pengunjung duduk dengan khusyuk. Beberapa membaca catatan singkat di bawah foto, beberapa menatap lama tanpa bicara. Di ruang itu, terasa seolah kedua tokoh sedang berbincang dalam diam, membicarakan kebudayaan Palu yang mereka cintai, dengan bahasa yang senada: bahasa bahasa kebudayaan. Malam itu, karya-karya mereka hadir dalam apresiasi dan interpretasi, di tengah temaram lampu pertunjukan, di tengah alunan musikalisasi puisi, di tengah riuh rendah tepuk tangan menyambut karya keduanya.  

Keduanya berasal dari generasi yang berbeda, menulis dengan gaya berbeda, dan menempuh jalan yang berseberangan. Namun satu hal menyatukan mereka: kecintaan pada bahasa, sastra, dan kebudayaan daerah sebagai denyut jantung kemanusiaan.

Masyhuddin Masyhuda: Arsip, Bahasa, dan Cinta yang Disiplin

Lahir di Kampung Baru, Kota Palu, 1 Juli 1935, Masyhuddin Masyhuda tumbuh dari keluarga petani dan nelayan. Ia menjadi sarjana, anak daerah pertama dari delapan bersaudara yang berhasil menembus dunia pendidikan tinggi.

Setelah menamatkan Sekolah Guru Bawah (SGB) di Palu, Masyhuddin melanjutkan ke IKIP Makassar, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia bukan hanya mengajar, tetapi membaca, menulis, dan meneliti. Di masa itu, ketika Indonesia baru saja menata kembali identitas nasionalnya setelah pergolakan 1965, Masyhuddin percaya bahwa bahasa dan kebudayaan adalah cara paling damai untuk mencintai tanah air.

Sejak 1970-an, ia bekerja di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) Sulawesi Tengah, di tengah arus besar politik kebudayaan Orde Baru. Ia menjadi Kepala Bidang Permuseuman, Sejarah, dan Purbakala, menggagas pendirian Museum Negeri Sulawesi Tengah, dan menulis laporan-laporan etnografi serta monografi kebudayaan yang kini menjadi arsip penting daerah.

Namun Masyhuddin bukan sekadar pejabat kebudayaan. Ia seorang penulis dan penyair yang senang menatap laut Palu sebagai metafora kehidupan. Puisinya seperti Matahari di Teluk (1991) dan Larut Malam di Laut Dini Hari (1994) memperlihatkan kepekaan spiritual seorang birokrat yang diam-diam menyimpan renungan eksistensial.

Ia menulis tentang adat, bahasa, dan logat bukan sebagai data, tapi sebagai memori kolektif yang harus diselamatkan dari modernisasi dan lupa. Dalam karya monumentalnya, Palu Meniti Zaman (2000), ia menggambarkan kota kelahirannya sebagai ruang yang terus berubah: antara kolonialisme, pembangunan, dan tradisi yang mencari pijakan baru.

Sebagai birokrat sekaligus budayawan, Masyhuddin menjalani hidup di persimpangan:
di satu sisi ia pelestari, di sisi lain bagian dari sistem yang menata dan mengontrol budaya.
Namun, di balik bahasa administratif dan laporan proyek, ada ketulusan yang tak bisa disembunyikan: keyakinan bahwa kebudayaan, betapapun diatur, tetap punya nyawa sendiri.

Masyhuddin wafat pada 30 September 2000, meninggalkan arsip, museum, dan jejak panjang seorang intelektual yang menulis dengan disiplin, bukan untuk ketenaran, tapi untuk mengikat ingatan kolektif Palu.

Ia adalah arsitek kebudayaan dari pinggiran, yang memahat memori dalam lembar-lembar laporan, puisi, dan museum.

T.S. Atjat: Suara dari Bahasa Ibu

Empat belas tahun setelah Masyhuddin lahir, Sjarief Magribi, yang kelak dikenal dengan nama pena T.S. Atjat, lahir di Tanjung Padang, 27 Desember 1949. Ia tumbuh dalam masa ketika radio lebih banyak bercerita ketimbang televisi, dan anak-anak membaca Chairil Anwar seperti kitab kecil. Sejak usia enam tahun, Atjat sudah terbiasa dengan dunia kata. Ia membaca Buya Hamka dan Chairil, lalu menulis cerpen pertamanya ketika duduk di bangku sekolah dasar.

Atjat menempuh kuliah Bahasa Inggris di Makassar, namun tak menamatkannya. Ia beralih ke Bahasa Indonesia dan Sastra, mengikuti panggilan hatinya pada dunia kata dan kebudayaan.
Sejak 1972, ia mengajar di Yayasan Alkhairaat Palu, dari taman kanak-kanak hingga universitas. Di sela mengajar, ia menulis naskah sandiwara radio untuk RRI Palu, salah satu media paling populer di masa itu, dan cerita pendek berbahasa Indonesia dan Kaili.

Atjat dikenal bukan hanya karena karya sastranya, tapi karena komitmennya terhadap bahasa Kaili. Ia percaya bahwa bahasa daerah bukan sekadar alat komunikasi, tetapi roh identitas.
Ketika banyak orang meninggalkan bahasa ibu demi “bahasa nasional” yang lebih prestisius, Atjat justru menulis puisi, cerpen, bahkan menerbitkan antologi penuh dalam bahasa Kaili.

Antologi Soyo Lei (2006) dan Antologi Puisi Bahasa Kaili Dialek Rai dan Ledo (2011) adalah contoh langka dari keberanian melawan arus: menulis dalam bahasa yang nyaris hilang dari ruang publik. Ia menulis dengan lembut, tapi setiap kata adalah perlawanan terhadap amnesia nasional.

Dalam Catatan Seorang Pejalan Kaki (2012) dan kumpulan Tovau Lobâ dan No Nggololio (2021), Atjat memadukan bahasa Kaili dengan ritme modern, menciptakan bentuk sastra hibrid yang mempertemukan masa lalu dan masa kini. Ia adalah penyair yang memelihara memori kolektif bukan lewat museum, tapi lewat kata-kata.

Sebagai guru, Atjat rendah hati dan dekat dengan murid. Sebagai sastrawan, ia teguh dalam keyakinan bahwa bahasa ibu adalah benteng terakhir kebudayaan. Ia tidak mengejar panggung nasional; baginya, menulis dalam bahasa Kaili sudah cukup menjadi bentuk patriotisme.

Dua Jalan Menuju Cinta yang Sama

Masyhuddin Masyhuda dan T.S. Atjat adalah dua kutub yang saling melengkapi.
Masyhuddin mengarsipkan budaya agar diakui oleh negara; Atjat menulis bahasa agar diingat oleh rakyat. Yang satu bekerja dengan data dan institusi, yang satu dengan emosi dan kata.

Jika Masyhuddin menulis dari “dalam sistem”, Atjat menulis dari “luar sistem”.
Namun keduanya bertemu di satu titik yang sama: kesadaran bahwa bahasa, sastra, dan kebudayaan adalah akar kemanusiaan yang paling dalam.

Dalam konteks kebudayaan nasional, mereka menunjukkan bahwa kebudayaan tidak lahir dari pusat, tetapi dari pinggiran, dari tangan guru-guru yang sabar, dari penyair yang menulis di sela tugas mengajar, dari orang-orang yang memilih menulis sejarah bukan di Jakarta, tapi di Palu.

Masyhuddin menulis tentang bagaimana Palu berubah; Atjat menulis agar Palu tidak hilang.
Yang satu membangun museum agar budaya diingat, yang lain menulis puisi agar budaya tetap hidup. Dan mungkin, dalam pandangan sejarah kelak, keduanya akan dikenang bukan sebagai dua tokoh yang berbeda, tetapi sebagai dua cahaya yang menerangi satu ruang: kebudayaan daerah sebagai fondasi Indonesia.

Arsip dan Suara

Kini, di Palu, nama Masyhuddin Masyhuda terpatri di museum dan lembaga kebudayaan; sementara puisi-puisi T.S. Atjat mulai dibacakan lagi di panggung komunitas seni.
Satu menjadi arsip, satu menjadi suara. Keduanya, dengan cara mereka masing-masing, menunjukkan bahwa cinta pada kebudayaan selalu lahir dari tempat yang paling sepi, dari guru-guru yang mencatat, dari penyair yang tetap menulis meski tak dibaca banyak orang.

Jika Masyhuddin adalah ingatan yang terjaga dalam arsip, maka T.S. Atjat adalah suara yang terus hidup dalam bahasa. Dua-duanya adalah cara Palu dan Indonesia menjaga kemanusiaannya di tengah gelombang zaman.


Post a Comment

0 Comments