Pantulan Semangat Sumpah Pemuda dari Lapangan BASPI

SUMBER: ITO LAWPUTRA

Peringatan Hari Sumpah Pemuda setiap 28 Oktober selalu mengajak kita menengok kembali makna kebersamaan, kerja keras, dan cinta tanah air. Nilai-nilai itu tidak hanya lahir di ruang kongres pemuda di Batavia pada 1928, tetapi juga hidup dalam tindakan nyata di berbagai penjuru tanah air, termasuk di Palu, di mana sekelompok pemuda Tionghoa pernah menunjukkan bagaimana semangat Sumpah Pemuda dapat tumbuh dari hal-hal sederhana.

Pada tahun 1966, pemerintah Indonesia menutup seluruh sekolah Tionghoa. Kebijakan itu berdampak besar bagi anak-anak muda Tionghoa di Kota Palu. Mereka kehilangan tempat belajar, kehilangan ruang untuk berkumpul, dan menghadapi ketidakpastian masa depan. Namun di tengah situasi sulit itu, muncul sekelompok pemuda yang tidak menyerah.

Kelompok ini tidak memiliki nama dan hanya diikat oleh pertemanan. Mereka dikoordinir oleh Adi Luhung (Ahung). Di masa itu, Palu belum memiliki restoran. Setiap acara kedukaan dan pesta pernikahan dilaksanakan di rumah masing-masing. Para pemuda Tionghoa ini selalu datang membantu secara sukarela. Dari kegiatan-kegiatan kecil itu, tumbuh rasa kebersamaan dan kekerabatan yang kuat. Mereka menemukan kembali makna solidaritas, sesuatu yang sejiwa dengan gotong royong yang menjadi dasar kehidupan masyarakat Indonesia.

Tiga tahun kemudian, pada 1969, dua pemuda bernama Hermanto Chandra dan Harianto Saputra (Yau Ting) berdiskusi tentang bagaimana menyalurkan semangat pemuda Tionghoa dalam kegiatan yang positif. Keduanya adalah pemain basket nasional yang pernah mewakili Makassar. Dari pembicaraan itu lahir gagasan untuk membentuk wadah yang bisa menyatukan para pemuda Tionghoa Palu melalui olahraga basket.

Mereka lalu mengajak Lucky Koriston, Ricky Chowindra, Fred Holing, dan sejumlah pemuda lainnya memperbaiki lapangan basket di Taman GOR Palu, yang saat itu rusak dan tidak terurus. Dari kerja keras itu, lahirlah Basketball Association Palu Indonesia (BASPI), klub basket yang menjadi tempat berkumpul, berlatih, dan berorganisasi bagi anak-anak muda Tionghoa di Palu.

BASPI dilatih oleh Fery Hukom (Pak Dede) dan rutin berlatih di Taman GOR Palu. Latihan mereka bahkan sering disaksikan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, A.M. Tambunan. Meski fasilitas sederhana, semangat mereka besar. BASPI mulai mengikuti pertandingan-pertandingan persahabatan, lalu berkembang menjadi kekuatan basket yang dikenal di tingkat daerah dan nasional.

Pada Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) III di Ambon tahun 1972, BASPI diutus mewakili Provinsi Sulawesi Tengah. Puncak prestasi mereka terjadi saat mengikuti Kejuaraan Nasional Basket antar Klub se-Indonesia di Semarang, ketika BASPI berhasil masuk lima besar nasional. Klub ini juga pernah mewakili Sulawesi Tengah dalam PON ke-XIII di Jakarta dan meraih peringkat keempat. Semua itu dicapai berkat semangat dan kerja keras para pemuda yang membangun dari nol.

Namun, semangat mereka tidak berhenti pada prestasi. Mereka bermimpi memiliki lapangan sendiri. Salah satu anggota, Ngo Lan, menawarkan sebidang tanah miliknya sebagai lokasi pembangunan lapangan basket impian BASPI. Harga tanah itu Rp 1 juta, dan Ngo Lan ikut menyumbang Rp 50 ribu, sehingga sisanya Rp 950 ribu dikumpulkan dari iuran anggota.

Karena kondisi ekonomi yang terbatas, para pemuda ini menggalang dukungan dari masyarakat Tionghoa di Palu. Salah satu yang mereka datangi adalah Toko Sulinda, milik Halim Labako. Halim menyambut dengan antusias dan bahkan berjanji akan menyumbang lebih besar jika para pemuda BASPI juga mampu membangun sebuah sekolah. Dukungan ini menjadi pendorong moral yang kuat bagi mereka.

Dengan gotong royong dan semangat pantang menyerah, pada 1976, tanah di Jalan Sungai Lariang No. 21 akhirnya terbeli. Para anggota BASPI turun tangan langsung membangun lapangan itu dengan tangan sendiri, mengangkut material dari Sungai Palu hingga larut malam. Kiesman Abdullah yang menjabat sebagai Ketua KONI Sulawesi Tengah, turut menyumbang pembangunan tribun.

Setahun kemudian, pada 1977, lapangan basket BASPI selesai dibangun. Lapangan ini tidak menjadi kebanggaan masyarakat Tionghoa, tapi juga seluruh masyarakat Kota Palu. Lapangan ini kemudian dikenal dengan nama Lapangan Baspi Nunu. Tidak hanya basket, klub ini juga membuka divisi voli dan tenis lapangan. BASPI tumbuh menjadi wadah olahraga dan kebersamaan lintas generasi.

Peran BASPI juga tercatat dalam sejumlah berita nasional. Kompas edisi 6 Oktober 1982 menulis bahwa Regu BASPI Palu tampil sebagai juara, mengalahkan Flying Tiger Manado dengan skor 78–67 (41–34) dalam Turnamen Bola Basket Piala Wali Kota Palu yang diikuti berbagai klub dari Sulawesi. Dua tahun kemudian, Kompas edisi 8 Oktober 1984 kembali mencatat bahwa meskipun hanya memiliki satu lapangan memadai, lapangan milik BASPI, Sulawesi Tengah tetap berhasil menjadi tuan rumah Babak Kualifikasi Bola Basket PON XI Wilayah Indonesia Timur pada 20–27 Oktober 1984 di Palu. Lima daerah, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Irian Jaya, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah, ikut bertanding.

Kisah para pemuda Tionghoa Palu ini mengajarkan bahwa semangat kebangsaan tidak selalu lahir dari peristiwa besar. Ia juga tumbuh dari tindakan sederhana, dari keringat yang jatuh di lapangan, dari persahabatan yang dijaga, dan dari tekad untuk terus berbuat di tengah keterbatasan.

Mereka mungkin tidak mengucapkan ikrar “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” seperti para pemuda 1928, tetapi tindakan mereka mencerminkan makna yang sama, membangun persatuan melalui kerja nyata. Di tengah keterbatasan, mereka memilih untuk tidak mundur. Di saat ruang publik menyempit, mereka menciptakan ruang baru melalui olahraga dan gotong royong.

Kini, Lapangan Baspi Nunu bukan sekadar tempat bermain basket. Ia adalah simbol semangat kebersamaan, ketekunan, dan cinta tanah air dari anak-anak muda Tionghoa Palu. Di setiap pantulan bola di lapangan itu, kita seakan mendengar gema semangat Sumpah Pemuda, bahwa menjadi Indonesia berarti bekerja bersama, saling menopang, dan tidak pernah menyerah pada keadaan.

Sumber:
Ito Lawputra, Imran, & Yaumil Akbar Alamsyah, Pantang Mundur! Kisah Yayasan Karuna Dipa, Yogyakarta: Diandra Creative, 2025.

Kompas, edisi 6 Oktober 1982 dan 8 Oktober 1984.


Post a Comment

0 Comments