Ketika Pelabuhan Berpindah, Kota Berbalik: Donggala–Palu dalam Ayunan Sejarah

FOTO: Aktivitas di Pelabuhan Donggala. FOTO: DOK MERCUSUAR

Penolakan ratusan warga Pantoloan terhadap rencana pemindahan kapal penumpang Pelni ke Pelabuhan Donggala pada akhir 2025, tidak berdiri di ruang hampa. Ia adalah letupan sosial dari sebuah sejarah panjang, ketika keputusan infrastruktur negara berulang kali menentukan siapa menjadi kota dan siapa menjadi pinggiran. Dalam kasus Sulawesi Tengah, pelabuhan bukan sekadar fasilitas transportasi, melainkan mesin pembentuk urbanitas.

Sejak sebelum abad ke-15, Donggala telah dikenal sebagai pelabuhan niaga yang memperdagangkan kopra, damar, kemiri, dan ternak. Catatan Cina yang dirujuk J.V. Mills menunjukkan, Donggala berada di bawah Kerajaan Banawa dan telah terhubung dengan jaringan perdagangan Selat Makassar jauh sebelum kolonialisme formal Belanda. Posisi geografisnya di mulut Teluk Palu, menghadap langsung Selat Makassar, menjadikannya simpul strategis antara Makassar dan Manado.

Pada awal abad ke-20, Belanda melembagakan posisi ini. Donggala dijadikan pusat Afdeling Donggala dan pelabuhan niaga–penumpang utama. Pemerintah kolonial bahkan menempatkan mercusuar di pulau-pulau strategis (Toguan, Pangalasiang, Sojol) untuk mengontrol arus kapal asing. Ekonomi Donggala hidup dari pelayaran dan jasa, membentuk masyarakat yang heterogen dan kosmopolit—ciri klasik kota pelabuhan urban.

Dalam struktur ini, Palu berfungsi sebagai peri-peri. Ia menjadi wilayah agraris dan administratif lokal yang memasok komoditas ke Donggala. Sejarah Sosial Daerah Sulawesi Tengah mencatat bahwa ritme ekonomi Palu sepenuhnya bergantung pada arus laut Donggala; Palu belum memiliki otonomi urban sendiri.

Masalah mulai muncul ketika teknologi pelayaran berubah. Pelabuhan Donggala dangkal; kapal besar tidak dapat merapat. Penumpang dan barang harus dipindahkan dengan getek—proses lamban dan mahal. Artikel Tempo tahun 1969 secara tajam menyebut Donggala sebagai “pelabuhan kecil” yang tidak layak dipertahankan untuk masa depan. Bahkan investasi Rp 90 juta untuk tiang pancang beton dan Rp 15 juta untuk instalasi air tawar terbengkalai tanpa manfaat.

Menariknya, Belanda sebenarnya pernah mempertimbangkan pemindahan pelabuhan ke Pantoloan pada awal abad ke-20, namun membatalkannya. Alasannya bukan teknis ekonomi, melainkan risiko gempa. Data Sarasin Bersaudara (1901) menunjukkan, pantai barat Selat Makassar rawan gempa hingga skala 7 Richter, cukup untuk memicu tsunami yang menyapu pemukiman pesisir. Risiko ini diabaikan negara pascakolonial.

Pada 1970-an, negara mengambil keputusan structural, yakni membangun Pelabuhan Samudera Pantoloan. Perairannya lebih dalam, jaraknya ke Palu kurang dari 15 km, dan terhubung dengan jalur darat Parigi–Tawaeli–Poso. Pada 1978, Pelabuhan Samudera Pantoloan diresmikan bersamaan dengan Pelabuhan Udara Palu. Menteri Perhubungan saat itu, Hoesmin Nurjadin, menyebut Pantoloan sebagai satu-satunya pelabuhan besar yang layak di pantai barat Sulawesi Tengah, karena Pelabuhan Donggala tidak mungkin diperluas lagi.

Data Kompas mencatat, volume lalu lintas kapal di Teluk Palu meningkat rata-rata 15 persen per tahun. Seluruh pertumbuhan itu diserap Pantoloan. Donggala secara resmi ditetapkan hanya melayani pelayaran rakyat dan kapal pantai, sementara kapal besar dan arus utama beralih ke Pantoloan. Di titik inilah terjadi pembalikan hierarki urban, di mana Palu tumbuh menjadi kota urban utama, Donggala merosot menjadi peri-peri administratif.

Palu diuntungkan oleh keputusan ini. Sejak menjadi ibu kota provinsi pada 1964, Palu menyerap arus barang, manusia, modal, dan birokrasi. Urbanitas Palu bukan hasil evolusi organik, melainkan produk pemindahan simpul infrastruktur. Dalam waktu satu generasi, Palu berkembang sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, kesehatan, dan jasa, sementara Donggala kehilangan mesin ekonominya.

Kunjungan Presiden Soeharto ke Indonesia Timur pada 1971 bahkan telah menempatkan Donggala dalam konteks simbolik, yakni proyek pelabuhan ditinjau, parade perahu layar digelar, namun keputusan strategis tetap mengarah pada Pantoloan. Donggala dipelihara sebagai situs administratif dan simbol sejarah, bukan pusat arus.

Di sinilah konflik penolakan ini harus dibaca. Bagi warga Pantoloan, pelabuhan bukan sekadar fasilitas negara. Ia adalah ruang hidup. Buruh bongkar muat, pedagang kecil, sopir, dan jasa informal menggantungkan ekonomi pada arus penumpang. Penolakan mereka adalah klaim atas urbanitas yang telah terbentuk secara sosial, bukan sekadar administratif.

Ironinya, wacana memindahkan kapal penumpang ke Donggala sering dibungkus narasi “menghidupkan kota tua”. Padahal arsip kebijakan sejak 1978 secara eksplisit membagi fungsi: Donggala untuk pelayaran rakyat, Pantoloan untuk arus besar. Mengubahnya tanpa membalik struktur ekonomi regional hanya akan memindahkan masalah sosial, bukan membangun kota.

Kunjungan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) ke Pelabuhan Donggala pada Juli 2025, menghidupkan kembali diskursus ini. AHY menegaskan pentingnya transportasi laut untuk mendorong pertumbuhan kawasan dan pemerataan ekonomi, termasuk potensi Donggala dalam distribusi barang dan pariwisata. Namun pernyataan ini berbicara pada level konektivitas, bukan pembalikan arus utama. Ia membuka peluang, tetapi tidak otomatis mengubah hierarki urban yang telah terbentuk selama setengah abad.

Sejarah Donggala–Palu menunjukkan satu pelajaran keras, yakni urbanitas mengikuti arus, bukan nostalgia. Donggala menjadi kota urban ketika ia menguasai simpul pelabuhan. Ketika simpul itu berpindah, urbanitas ikut berpindah. Palu naik bukan karena keunggulan kultural semata, melainkan karena ia menerima limpahan arus.

Konflik penolakan ini adalah gema dari keputusan 1970-an. Ia mengingatkan bahwa setiap kebijakan pelabuhan selalu berarti memilih siapa yang hidup dari arus, dan siapa yang ditinggalkan olehnya. Dalam ayunan sejarah Teluk Palu, pelabuhan bukan hanya tempat kapal berlabuh. Ia adalah mesin yang menentukan masa depan kota.

 


Post a Comment

0 Comments